Kamis, 22 Januari 2009

RASA BERSALAH

Rasa Bersalah Menghinggapi Anda ?
Perlukah Rasa bersalah ?
Kenapa Ada Rasa Bersalah Buatan?
dan Rasa Bersalah Betulan ???


Mahatma Gandhi bukan seorang pastur. Maka ia tidak wajib selibat atau pantang berhubungan seksual. Tapi toh ia memilih tidak berhubungan seksual meskipun istrinya cantik, bertubuh indah dan sangat mencintainya.

Kenapa? Tak lain karena negarawan religius ini memiliki rasa bersalah teramat mendalam terhadap ayahnya.

Gandhi tak bisa memaafkan dirinya sendiri, setelah menyadari bahwa pada saat ayahnya menghembuskan napas terakhir ia justru tengah berasyik-masyuk dengan istrinya. Maka sejak saat itu ia meminta persetujuan dari istrinya untuk tidak lagi berhubungan intim.

Padahal mereka masih muda pada saat itu. Lagipula sesungguhnya bukan salah Gandhi maupun istrinya bila sang waktu memilih hari kematian ayahnya pada saat itu.

Tapi begitulah Gandhi, yang memilih "berlaku kejam" terhadap diri sendiri (dan istrinya) demi menebus rasa bersalahnya.

Sesuatu tindakan yang mungkin terasa sangat tidak masuk akal bagi kebanyakan orang. Bahkan ini nampak sebagai reaksi tidak normal terhadap sebuah peristiwa yang sama sekali di luar jangkauan kuasanya.

Bagaimana seseorang menebus rasa bersalahnya?

tergantung pada pribadi orang bersangkutan yang satu sama lain tentu saja berbeda. Antara lain kepekaan, cara dan ukuran khas dari orang bersangkutan dalam menghadapi rasa bersalah.


Rasa bersalah biasanya muncul ketika orang sampai pada pengertian atau kesadaran tentang baik dan buruk yang sangat subyektif, tergantung pada pengalaman religius dan emosional yang bersangkutan.

Kasus Putri Stephanie dari Monaco, misalnya bisa menjadi contoh. Setelah beberapa tahun dicitrakan sebagai putri yang liar dan bengal oleh media massa, tiba-tiba sang putri mengubah citranya, menjadi pendiam dan alim.

Konon, dia merasa sangat bersalah atas kematian ibunya, Putri Grace yang tewas dalam kecelakaan mobil yang dikemudikan olehnya.

"Saya merasa menyesal kenapa Ibu yang meninggal, sedangkan saya yang memegang stir selamat dan hanya cidera ringan", begitu katanya.

Gandhi dan Stephanie punya ukuran sendiri tentang rasa bersalah dan wujud penyesalannya. Dan tentu saja tidak dapat dikatakan wujud penyesalan atau penebusan yang satu lebih hebat ketimbang yang lain. Ukuran itu sangat bersifat subyektif.

Dalam kajian psikologi, rasa bersalah dibagi ke dalam dua kategori :

Pertama, Rasa bersalah yang benar-benar (Real Guilt). Pada setiap orang biasanya melekat kecenderungan untuk berbuat dosa atau melanggar hukum Tuhan.

Tentu saja bentuknya macam-macam. Mulai dari yang oleh kebanyak orang dikategorikan ringan seperti berbohong, sampai yang sangat berat , seperti membunuh.

Perasaan telah berbuat jahat dan telah melakukan tindak kesalahan karena melanggar hukum Tuhan inilah yang biasanya disebut rasa bersalah yang beneran.

Rasa bersalah karena berbuat dosa ini malah dianggap oleh yang bersangkutan sebagai bukti pengingkaran jiwanya terhadap Tuhan.

Akibatnya ia menjadi sangat tertekan. Dan biasanya bila mereka cukup religius, rasa bersalah itu lantas membimbingnya untuk bertobat dan percaya bahwa Tuhan mau mengampuni kesalahannya.

Dalam kasus seperti ini, umumnya penderita bisa mengurangi tekanan oleh rasa bersalah atau bahkan perasaan bersalah itu sirna. Pada sebagian orang, ada kalanya mereka menyadari dirinya telah melakukan kesalahan atau telah melanggar hukum Tuhan. Toh, perbuatan yang disadari salah itu tidak dihentikannya. tak heran kalau kitapun sering mendengar guyon yang menyebut "dosa itu nikmat".

Siapa sih yang mau menyingkirkan kenikmatan? Faktanya, banyak diantara kita yang memilih tetap berada dalam keadaan berdosa. Dan buntutnya banyak orang kemudian menjadi merasa gelisah, tegang, dan merasa bersalah.

Pada banyak pengalaman, terbukti tidak mudah untuk bisa melepaskan diri dari perasaan-perasaan tak enak seperti itu. Bisa jadi seseorang mungkin selama bertahun-tahun telah berusaha menenangkan diri, tidak mau menghadapi kenyataan atau berusaha mengingkari dirinya tengah berada dalam dosa.

Bahkan mungkin banyak yang kemudian menghabiskan waktunya dengan melakukan berbagai aktivitas, tapi masih saja ingatan pada dosa atau kesalahan yang dilakukan itu tak bisa dilepaskannya.

Para penjahat ulung atau pada orang yang punya kepribadian sosiopatik sekalipun, seringkali mereka juga teringat pada kesalahan yang telah dilakukan.

Maka merekapun membutuhkan pengampunan. Pada orang-orang religius, yang percaya Tuhan selalu membimbing langkah mereka, rasa bersalah, gelisah maupun ketegangan bisa menjadi bagian dari hidup mereka. Sebab, mereka juga kadang merasa bahwa sikap dan perbuatannya tidak menyenangkan hati Tuhan. Dan segala kegelisahan itu baru hilang setelah mereka yakin Tuhan telah memaafkan.

Kedua, rasa bersalah "bikinan" (pseudo guilt). Dalam fakta, kadang-kadang rasa bersalah atau rasa berdosa yang muncul pada diri seseorang sering bukan merupakan pengalaman spritual malainkan hasil dari situasi emosional semata.

Mungkin saja, seseorang telah menyerahkan hidupnya pada Tuhan, tapi pada saat yang sama dia tetap tidak sanggup menghapuskan rasa bersalahnya.

Maka tak henti-hentinya dia memohon supaya Tuhan mengampuni kesalahannya, karena rasa bersalah ataupun perasaan bahwa dirinya jahat atau kotor tidak juga lenyap dari dirinya.

Dalam pandangan psikologi, reaksi psikologis semacam itu dianggap sebagai reaksi tidak normal yang dibawa oleh situasi lingkungannya. Biasanya pengalaman pada masa kanak-kanak.

Salah satu yang sering menjadi rasa bersalah "bikinan" ini adalah perilaku orang tua yang selalu mengutuk, menyalahkan dan menuduh.

Banyak anak sebenarnya merasa tidak sedikitpun melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap hukum Tuhan, tapi mereka sering mendapatkan penolakan.

Orang tua, guru dan orang dewasa lain seringkali tanpa disadari telah melontarkan ucapan-ucapan atau reaksi penolakan lain yang menyebabkan anak merasa dirinya tak berguna.

Karena itu, sangat menyedihkan bila anak tumbuh dalam lingkungan yang menyebabkan timbul perasaan tidak aman dan tidak terlindungi.

Akibatnya yang biasanya muncul adalah rasa frustasi dan konflik di dalam diri anak, dalam masa yang sangat lama.

Mereka akan menyalahkan diri sendiri atas segala macam penolakan itu dan mulai menciptakan rasa berdosa dan depresi yang serius.

Penting tidak penting, memiliki rasa bersalah bisa menjadi salah satu upaya seseorang untuk meningkatkan kualitas kepribadian.

Gandhi, misalnya menyebut sebagai "cobaan saya dalam kehidupan". Yang tidak diharapkan tentu saja jika perasaan bersalah itu berakibat negatif. Artinya bukan untuk meningkatkan diri, tetapi malah depresi atau sakit.

Semoga setelah membaca tulisan ini, pembaca dapat mengambil hikmahnya agar rasa bersalah yang ada dapat dikelola menjadi hal yang positif untuk pengembangan kepribadian dan pengendalian emosional guna lebih mendekatkan diri dari sisi spiritual.


Tidak ada komentar: