Rabu, 21 Januari 2009

L E S B I A N

Lesbian Bukan Penyakit ?
Bagaimana Kita memahaminya ?

Selama ini jika kita menyinggung soal homoseksual (lazimnya pria disebut gay dan wanita disebut lesbian) yang ada dalam pikiran kita adalah orang-orang yang berhubungan seksual dengan sesama jenis.

Sesungguhnya ini adalah pengertian yang tidak komplet. Homoseksual adalah gejala yang menyangkut banyak aspek, bukan hanya seksual semata. Lesbianisme juga bukan semacam penyakit atau penyimpangan prilaku.

Dengan anggapan keliru itu tak heran banyak wanita yang memiliki kecenderungan lesbian kemudian mengalami tekanan batin luar biasa. Bukan saja karena dianggap sakit, tapi mereka sendiri merasa sakit.

Sedangkan untuk menyatakan diri terang-terangan bahwa dirinya lesbian, tidak ada keberanian. Lebih-lebih berterus terang kepada keluarga, justru ini yang biasanya paling sulit.

Akibat dari semua itu ada ahli yang menemukan jenis phobia baru dikalangan orang modern, yaitu homophobia. Yaitu ketakutan yang irasional terhadap homoseksualitas yang pada orang lain, ketakutan terhadap perasaan menjadi homoseksual pada diri orang bersangkutan, atau benci terhadap diri sendiri karena homoseksualitas seseorang.

Banyak kita jumpai reaksi berlebih dari seseorang yang baru saja ngobrol dengan kaum homoseks, entah takut, ngeri, melecehkan, geli dan sebagainya. Atau sebaliknya, banyak kita jumpai bagaimana seseorang yang berprilaku homoseks berusaha menyangkal keras bahwa dirinya homoseks.

Seorang homoseks, menurut Martin & Lyon adalah orang yang pada dasarnya secara erotis, psikologis, emosional dan sosial tertarik dengan sesama jenis, meskipun rasa tertarik itu tidak terekspresikan secara nyata.

Jadi jumlah mereka sesungguhnya lebih banyak ketimbang yang pernah dihitung atau diduga, karena ada orang-orang yang tidak mengekspresikan kecenderungan homoseksualnya secara terbuka.

Di Amerika Serikat misalnya, dalam riset Kinsey, 13 persen wanita dilaporkan memiliki pengalaman sebagai lesbian pada suatu penggal hidupnya. Tapi hanya satu persen saja yang menjadi lesbian eksklusif.

Memang banyak gambaran kurang tepat tentang lesbian. Banyak diantara kita yang mengira bahwa seseorang menjadi lesbian karena dendam, tidak suka, takut ataupun tidak percaya terhadap laki-laki.

Bisa dimaklumi, karena secara sosial seksualitas wanita selalu dikaitkan dengan pria. Ini sama saja dengan anggapan mengapa wanita menjadi heteroseks (yang lebih tertarik dengan lawan jenis) karena ia takut dengan dan tidak suka dengan sesama jenis.

Padahal menurut riset, 70 persen lesbian pernah memiliki pengalaman seksual dengan pria dan kebanyakan antara mereka menyukai relasi dengan pria itu. Tapi mereka lebih memilih menjalin relasi dengan wanita.

Sebab itu, banyak ahli berpendapat, orientasi homoseksual pada wanita sesungguhnya bukan karena mereka tak punya kesempatan dan pengalaman menjadi heteroseksual atau karena punya sejarah tidak menyenangkan dalam pengalaman heteroseksualnya.

Sementara itu ada juga anggapan bahwa seseorang menjadi lesbian karena pernah "diperkosa" oleh lesbian yang berusia lebih dewasa. Karena merasakan kenikmatan ketika melakukan relasi tersebut akhirnya terjerumus menjadi lesbian.

Banyak kalangan awam juga percaya seorang anak menjadi lesbian karena punya guru lesbian. memang data memperlihatkan bahwa kaum homoseks (pria maupun wanita) memiliki pengalaman seksual pertama dengan yang seusia, biasanya teman. Tapi kecenderungan menjadi lesbian itu telah ada sejak sebelum usia sekolah.

Dalam literatur psikologi juga dijumpai teori-teori yang menyatakan penyebab seseorang menjadi lesbian (maupun gay) bersumber dari latar belakang keluarganya.

Dalam Psikoanalisa Freud misalnya, dikatakan pengalaman hubungan orang tua dan anak pada masa anak-anak sangat berpengaruh terhadap kecenderungan homoseksual.

Freud percaya, pria maupun wanita memiliki kecenderungan biseksual. Hanya dengan pengalaman perkembangan yang "normal" maka anak akan tumbuh sebagai heteroseksual.

Pendapat Freud di atas, ternyata didukung para ahli, pada intinya mengakui betapa besar pengaruh pengalaman masa kanak-kanak terhadap orientasi seksualnya.

Misalnya kurang kasih sayang Ibu akan menyebabkan seorang anak perempuan berusaha mendapatkannya dari wanita lain. Hubungan yang buruk dengan ayahnya akan menyebabkan anak mengalami trauma berhubungan dengan laki-laki sehingga anak perempuannya cenderung memilih berhubungan dengan wanita.

Tapi sebagian ahli menentang pendapat itu, mereka percaya seseorang menjadi lesbian bukan karena pengaruh lingkungan, tapi memang sudah demikian keinginannya.

Mereka kemudian membuktikan data yang menunjukan sebagian lesbian menjadi lesbian karena memang memiliki kesadaran memilih menjadi lesbian. Pilihan itu sebagai semacam alternatif lain dari pilihan menjadi heteroseksual.

Sementara itu ahli yang lain memperlihatkan faktor yang berbeda mengapa seseorang menjadi lesbian. Tak lain adalah faktor genetik yang dibawanya sejak lahir.

Tapi, konon anggapan ini sangat spekulatif dan riset yang dihasilkan untuk mendukung pendapat tersebut dinilai sangat lemah. Faktor biologis lain yang relatif lebih banyak diterima sebagai sumber lesbianisme adalah faktor hormonal.

Dan jika sampai riset tentang hal ini menunjukan bukti-bukti kuat, bisa jadi teori lain yang memandang bahwa seseorang menjadi homoseksual karena faktor "tidak alamiah" seperti faktor psikologis itu akan gugur.

Ada lagi ahli yang berpendapat lesbianisme terjadi berkaitan erat dengan tak adanya pembedaan jenis kelamin sebagai kanak-kanak (gender nonconformity).

Hasil riset menunjukan , 4/5 wanita lesbian dan 2/3 wanita heteroseks tidak terlalu feminim semenjak anak-anak. Hal itu terlihat dari ketidaksukaan terhadap boneka, sebagai mainan yang dianggap khas wanita. Pendeknya, mereka yang tergolong tidak feminim ini lebih menyukai permainan dan aktivitas anak laki-laki ketimbang perempuan.

Karena itu menurut para ahli, jika ada faktor biologis yang mempengaruhi seorang menjadi lesbian adalah karena tak adanya pembedaan jenis kelamin ini, sehingga mempengaruhi orientasi seksualnya.

Disinilah perlu adanya pendidikan seks usia dini, baik dari orang tua maupun guru-guru di TK dalam arti bukan mengajarkan bagaimana cara berhubungan seksual pada anak-anak tetapi bagaimana memberi bimbingan tentang peran jenis kelamin, antara anak laki-laki dan perempuan.

Idealnya pendapat yang lebih netral tentang sebab-sebab seseorang menjadi lesbian adalah membuka segala kemungkinan dan tidak terpaku pada satu sebab, sebab bukan mustahil seseorang menjadi lesbian karena faktor psikologis mapun biologis.

Kemudian yang sering menjadi tanda tanya menyangkut kaum lesbian (dan gay) adalah, apakah mereka dapat "disembukan" ?

Bagi mereka yang berpendapat lesbian bukan penyakit akan marah mendengar pernyataan ini, karena mereka beranggapan, lesbianisme adalah suatu alternatif lain dari orientasi psikologis, sosial maupun seksual.

Sehingga kalaupun perlu diterapi, maka terapi yang diberikan adalah berupa peneguhan untuk menjadi lesbian. Maksudnya jelas, supaya mereka tidak ragu-ragu dan tidak mengalami konflik batin lagi karena merasa dirinya "menyimpang" dari kebiasaan yang ada dalam masyarakat.

Namun pada mereka yang percaya bahwa lesbianisme adalah suatu penyimpangan, maka lesbianisme dapat disembuhkan.

Banyak klinik psikologi yang berusaha membantu memberikan terapi psikologis. Yang jelas akan lebih mudah menyembuhkan problem seksual seseorang ketimbang mengubah orientasi seksualnya.

Dan memang banyak ahli yang berusaha terus-menerus untuk menemukan bagaimana terapi yang tepat untuk para homoseksualitas ini. Membuat seimbang hormon adalah cara yang juga ditempuh, tapi sejauh ini kabarnya penambahan hormon ternyata baru bisa meningkatkan keinginan seksual tapi tidak mengubah orientasi seksualnya.

Hal ini berarti perlunya bimbingan melalui pendekatan psikologis, silahkan hubungi Biro Psikologi anda terdekat... Selamat mencoba terapy Psikologis dengan pendekatan spritual...

Tidak ada komentar: