Minggu, 08 Februari 2009

THE POWER OF LOVE

Menguak Keampuhan Cinta Sebagai Penangkal Penyakit . . .
Salah Satu Obat Ampuh Untuk Melawan dan Mencegah Penyakit adalah Rasa Cinta . . .
Seberapa besar kekuatan Cinta . . .??
Tahukah anda Keampuhan Cinta . . .??
mari kita bahas bersama-sama . . .


Bulan ini bulan Pebruari, kata orang sih bulannya kasih sayang..
maka itu penulis tergerak untuk mengangkat tema cinta. Tapi kali ini tidak akan membahas tentang pro dan kontra hari kasih sayang (valentin Day), tapi mencoba melihat cinta dan kasih sayang secara universal. Misalnya cinta akan persaudaraan, cinta orang tua terhadap anaknya, cinta suami-istri, cinta kakak-adik, cinta persahabatan, cinta kepada alam, cinta kepada hewan piaraan, dan cinta lain sebagainya . . .

"Dia akan sembuh dari sakit berkat cinta dan kasih sayang yang tulus dari orang-orang terdekatnya . ."

Pernyataan klise ini sering kita dengar dalam sinetron atau film-film drama. Tapi jangan ditertawakan dulu, karena inti kalimat itu memang benar adanya.

Secara medis terbukti bahwa cinta yang tulus akan meningkatkan kekebalan tubuh seseorang sehingga bisa menghindarkannya dari penyakit.


Bentuk cinta yang tulus itu bisa bermacam-macam, seperti perhatian, sentuhan, kepedulian, pelukan, senyum simpati, dan bentuk-bentuk kehangatan cinta universal lainnya.

Adalah ilmu Psikoneuroimunologi (PNI) yang mempelajari hal tersebut. Ilmu ini di dalamnya tercakup berbagai disiplin ilmu, seperti endokrinologi, imunologi, psikologi, neurologi, dan bidang-bidang ilmu lainnya.

Menurut PNI, di dalam tubuh kita terdapat sistem komunikasi dua arah antara sistem kekebalan dan sistem saraf yang "berbicara" dalam bahasa yang sama, yaitu lewat bahasa biokimiawi berupa zat-zat yang disebut neurotransmitter.

Kita lihat beberapa contohnya. saat stres, tubuh kita akan memproduksi glukokortikoid. Zat ini ternyata berkaitan langsung dengan jumlah dan efektivitas limfosit (zat yang mengendalikan fungsi kekebalan) di seluruh tubuh.

Sifat glukokortikoid tersebut adalah immunosuppressive atau menghambat pembentukan sel-T baru bahkan menyebabkan sel-T "bunuh diri".

PNI mengungkap pula adanya zat opipid dan neuropeptida yang berperan penting dalam komunikasi antara otak dan sistem kekebalan. Salah satu neuropeptida yang terpenting adalah endorfin yang struktur kimiawi dan efeknya pada tubuh serupa dengan zat-zat kimia seperti opium dan morfin (play choactive drugs) yang diketahui dapat mempengaruhi kerja otak.

Selain itu, PNI menemukan salah satu bagian otak yang paling aktif berkomunikasi dengan zat-zat kimia ini adalah sistem limbik, pusat yang mengatur emosi kita. Kaitannya makin jelas ketika diketemukan reseptor-reseptor di sel kekebalan limfosit terhadap berbagai neurotransmitters yang kini sudah dikenal.

Jelas, temuan-temuan PNI menegaskan bahwa apa yang kita persepsi lewat saraf dan apa-apa yang mempengaruhi pikiran dan emosi kita langsung direspons oleh sistem kekebalan. Semuanya menjelaskan bagaimana sentuhan, pikiran, dan emosi yang dipersepsi otak secara positif berdampak positif pula pada ketahanan tubuh.

Sebaliknya, bentuk-bentuk emosi negatif seperti stres, kemarahan dan depresi, secara fisiologis akan menurunkan kekebalan tubuh.

Sebuah percobaan pernah dilakukan pada tikus. Sekelompok tikus hidupnya terus menerus diganggu dengan suara yang membuat mereka stres (kronis). Sementara sekelompok yang lain dibiarkan hidup tenang. Hasilnya tikus yang mengalami stres dan depresi kronis mengalami penurunan kekebalan yang signifikan ketimbang yang hidupnya tenang-tenang saja. Tikus-tikus yang stres itu lebih rentan untuk terkena kanker.

Berkaitan dengan hal tersebut, spesialis penyakit dalam dan imunologi, Prof.Dr. Samsuridjal Djauzi, PhD.,FACP, mengatakan bahwa kasus tersebut terjadi pula pada kehidupan manusia. Ia mengisahkan pengalamannya dengan beberapa pasien kanker.

"seorang ibu penderita kanker yang menyerah, entah karena suaminya selingkuh atau tak peduli lagi padanya, tak punya pendorong untuk tetap hidup, lebih rendah daya tahannya ketimbang ibu lain yang sama-sama menderita kanker tapi punya motivasi bertahan yang kuat. Misalnya karena ia menyadari anaknya masih membutuhkan kasih sayangnya atau karena terus didampingi suami yang penuh cinta", paparnya.

Ungkapan cinta itu beragam bentuknya. Salah satunya adalah dengan sentuhan secara langsung. Ini pun berdampak bagus pada kesehatan. Contohnya adalah pijat bayi. Seorang guru besar dari Amerika bernama Prof. T. Field meneliti pengaruh pijat bayi ini.

Disimpulkan, bayi prematur dengan berat badan hanya 1,280 hingga 1.176 gram yang dipijat 3 sampai 15 menit selama sepuluh hari mengalami kenaikan berat badan per hari 20% hingga 47% lebih banyak ketimbang bayi-bayi yang tidak disentuh.

Bayi-bayi ini juga lebih aktif, lebih lincah, dan lebih responsif. Delapan bulan kemudian, bayi-bayi yang diberi makan dengan "menu" sentuhan ini menunjukan mental dan motorik yang lebih baik dibandingkan bayi-bayi yang tidak mendapatkannya.

Bayi-bayi yang diasuh di panti-panti penitipan dan yang tinggal di ruang perawatan (karena lahir prematur) tidak akan tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya bila tidak sering-sering mendapat sentuhan (digendong atau didekap).

Simak contoh-contoh lain. Dua pakar Dr.Katcher dan James Lynch,PhD, Direktur Life Care Health Foundation, Towson Meryland-Amerika, mencatat perubahan positif pada pasien-pasien penyakit jantung koroner, setiap kali para perawat menyentuh mereka untuk memeriksa denyut nadi.

Mereka juga menemukan, para pasien yang menderita trauma karena shock menunjukan denyut nadi yang positif setiap kali dokter menyentuh tangan mereka, meskipun pasien-pasien ini dalam keadaan koma !.

Tak hanya itu, ternyata sentuhan dengan hewan piaraan berdampak positif pula bagi imunitas tubuh. Pasien penderita penyakit jantung Dr.Lynch yang punya hewan piaraan di rumah mereka, rata-rata dapat bertahan hidup lebih dari setahun dari pada yang tidak punya hewan peliharaan.

Sementara itu, peneliti lain menemukan adanya penurunan tekanan darah pada pasien yang gemar membelai hewan piaraan mereka. Ekspresi wajah mereka pun terlihat mengalami perubahan dari tegang menjadi santai ketika menyentuh dan berbicara dengan hewan-hewan kesayangan mereka tersebut.

Dianjurkan para lansia yang tinggal di panti-panti jompo juga memelihara hewan piaraan. Amerika sudah merespon penelitian ini dengan banyaknya panti jompo yang membolehkan para lansia memelihara hewan kesayangannya atau mereka mengundang sukarelawan datang berkunjung disertai hewan peliharaan mereka.

Bukti-bukti medis keterkaitan antara kekebalan dan emosi itu telah mendorong para dokter memikirkan program-program kesehatan yang holistik. Di RS Kanker Dharmais Jakarta, misalnya, paramedis sudah menyadari bahwa seorang penderita kanker itu menderita secara menyeluruh. Secara fisik ia sakit, sementara psikis, ia juga menderita dalam persepsinya sebagai seorang wanita bila kebetulan organ tubuhnya (misalnya kangker payudara, kangker rahim) yang terpenting harus diangkat.

"Dalam banyak kasus, kankernya sendiri amat kecil, secara fisik tidak sehebat penderitaan emosionalnya. Namun, yang kecil itu menjadi besar bila hubungan emosionalnya tidak mulus, terutama yang menyangkut hubungan dengan pasangan, anggota keluarga, dan orang-orang terdekatnya", ungkap Dr.Samsuridjal.

Akhirnya, penelitian telah membuktikan (secara ilmiah) betapa pentingnya hubungan emosional yang baik dengan sesama, terutama dengan orang-orang terdekat kita.

"Bila salah satu anggota keluarga sakit, anggota yang lain hendaknya dapat memberikan dukungan emosional. Dokter akan mengobati secara profesional, tetapi secara emosional, orang-orang terdekat sangat berperan dalam membantu penyembuhan . Inilah yang kami sebut sebagai penyembuhan total ", ujar Dr.Samsuridjal.

Pada kasus-kasus kronis, dokter Samsuridjal menekankan pentingnya upaya-upaya agar pasien tidak selalu memikirkan penyakitnya sehingga jatuh ke dalam depresi. Ia harus dikeluarkan dari rutinitasnya.

Suatu waktu nanti, semua rumah sakit hendaknya menyadari bahwa memberi kesenangan, kegembiraan, dan sentuhan kehangatan menjadi bagian dari pengobatan.

Riset Psikoneuroimunologi masih akan terus berlangsung. Masih akan banyak kabar baru yang akan kita dengar tentang kekuatan cinta dan sikap batin yang positif. Disisi lain beragam penyakit juga takan berhenti terus meneror hidup kita. Belum lagi ancaman dari berbagai zat berbahaya dari makanan yang kita santap sehari-hari.

Untuk itu, marilah kita manfaatkan moment bulan kasih sayang ini dengan membagikan dan menerima secara cuma-cuma ungkapan cinta dan kasih sayang kita yang positif kepada sesama, agar kita lebih kebal terhadap berbagai penyakit.


Sabtu, 07 Februari 2009

MEMAHAMI KONFLIK

Konflik bukan untuk dihindari . . .
Benar, konflik menyita waktu dan energi . . .
Tapi . . . hadapi saja laah . . .

Salah satu aspek kehidupan yang menarik untuk dibahas adalah tingkah laku konflik. Suatu kenyataan bahwa dalam berhubungan dengan orang lain, bahkan dengan orang terdekat pun bisa saja terjadi konflik. Baik dalam kadar sangat ringan sampai yang berat.

Sisi negatif konflik yang terjadi adalah mengganggu keseimbangan hubungan yang telah terjalin dengan baik. Bahkan sering-sering terjadi destruktif, terutama bila penangananya kurang baik.

Misalnya hubungan suami-istri yang sudah sekian puluh tahun bisa menjadi retak dan diakhiri dengan perceraian yang tentu saja berdampak kurang menguntungkan bagi perkembangan anak.

Bila konflik terjadi antar pimpinan perusahaan maupun atasan-bawahan akibatnya akan lain lagi. Mungkin saja produktivitas perusahaan akan menurun. Orang yang terlibat konflik tidak lagi berkonsentrasi pada kerja. Praktis waktu dan energi tersita untuk memenangkan konflik tersebut.

Di samping itu ada akibat lain yakni kepuasan kerja merosot, timbul sikap apatis dan sifat menarik diri yang disebabkan oleh perasaan tertekan, rasa cemas dan frustasi.

Hal ini menjadi ruyam karena adanya pandangan tradisional, demi untuk tidak merusak hubungan yang ada maka hal-hal yang akan menyebabkan konflik selalu dihindari. Akibatnya semua persoalan bukannya terselesaikan melainkan diambangkan saja. Tentu saja hal ini kurang menguntungkan bagi pencapaian tujuan perusahaan atau organisasi.

Misalnya demi menghindari konflik dengan atasan maka ketentuan atasan diikuti saja, walaupun ketentuan itu sama sekali tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Contoh lain bila ada seorang bawahan yang jelas-jelas melanggar disiplin perusahaan, tidak ditindak karena takut terjadi konflik. Menghindari konflik juga ternyata bisa berdampak rusaknya semangat dan disiplin kerja perusahaan.

Konflik bukan untuk dihindari, justru harus dihadapi. Yang menjadi masalah adalah bagaimana menyelesaikan konflik agar tidak berdampak destruktif, melainkan konstruktif.

Konflik yang baik adalah jika hubungan yang terjalin itu bisa meningkatkan pemahaman masing-masing pihak, saling lebih mempercayai sehingga terjadi kedekatan, keintiman, saling bisa menyesuaikan diri, menerima masing-masing pihak, meningkatkan rasa respek dan mengembangkan kerja sama yang serasi dalam mencapai tujuan bersama.

Istilah orang tua baheula, "perselisihan suami-istri adalah bumbunya suatu perkawinan".
Bila perselisihan itu dapat terselesaikan secara konstruktif maka hubungan suami-istri pun akan semakin mesra.

Agar kita lebih trampil menyelesaikan suatu konflik maka perlu diketahui jenis-jenis konflik yang kita hadapi, yaitu :
  1. Konflik yang tidak Realistik yang disebabkan prasangka berdasarkan sejarah, tradisi, persaingan yang tidak sehat, kekurangtahuan, sikap permusuhan dan lain-lain. Misalnya konflik antar pimpinan atau atasan-bawahan yang karena rasa kesukuan, pribumi-non pribumi, almamater berbeda, dan lain-lain.
  2. Konflik yang Realistik dan Rasional yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan, kebutuhan, tujuan, minat, sistem nilai yang saling bertentangan.
Pada umumnya konflik yang realistik lebih mudah diselesaikan secara konstruktif, karena masih berada pada taraf penalaran. Sebaliknya konflik yang tidak realistik memerlukan suatu usaha yang cukup besar untuk menyelesaikannya karena berada dalam kehidupan emosional.

Walaupun demikian kalau ada kemauan untuk menyelesaikan suatu konflik pasti ada jalan ke arah pemecahan yang konstrukrif.

Yang perlu diperhatikan dalam memahami konflik adalah :
PENGENDALIAN EMOSI
  • Hal ini perlu dilakukan mengingat dalam konflik perasaan-perasaan negatif yang terlibat dalam diri kita antara lain : marah, tidak percaya orang lain, tidak sabar, ingin menang dan lain-lain. Konflik dan permaslahan tidak akan terselesaikan dengan emosi melainkan dengan rasio. mengendalikan emosi dengan cara memperlakukan orang lain dengan sikap respek, artinya memandang orang lain sederajat dengan kita sehingga menimbulkan keinginan berdialog atas dasar kesamaan hak asasi. Disampig itu melihat setitik aspek kebaikan lawan berkonflik, walaupun pada waktu itu yang terlihat adalah aspek-aspek negatifnya.
  • Mencari titik temu, bukan memperlebar jurang perbedaan.
  • Menghindari tindakan-tindakan yang merendahkan derajat pihak lain, misalnya menyindir, berkata yang menyakitkan hati, memaki, mengungkit-ungkit kejelekan pihak lain pada masa lalu atau menyakiti secara fisik.
  • Berusaha agar masing-masing pihak tidak kehilangan muka (tidak saling mempermalukan).
PEMECAHAN MASALAH YANG MENJADI SUMBER KONFLIK
  • Mendengar aktif, artinya berusaha memahami pikiran, perasaan dan maksud-maksud pihak lain serta pandangan-pandangannya tentang suatu hal.
  • Mengemukakan pendapat sendiri pada pihak lain agar ia memahami maksud-maksud, pikiran dan pandangan kita tentang hal yang disengketakan. Usahakan berbicara sejelas-jelasnya, tidak bertele-tele, langsung pada sasaran. Berbicaralah dengan muka yang ceria, tersenyum dan kata-kata yang menyentuh kalbu.
  • Menyamakan persepsi dan mendefinisikan masalah atau kebutuhan secara konkrit dan operasional.
  • Curah pendapat untuk mencari kemungkinan pemecahan permasalahan.
  • Memilih kemungkinan pemecahan permasalahan terbaik yang dapat memuaskan kedua belah pihak.
  • Perencanaan ke depan.
  • Penerapan keputusan bersama dan tindak lanjut.
Pada situasi tertentu bisa saja konflik tidak dapat terselesaikan, dalam situasi yang demikian maka dianjurkan untuk melibatkan pihak ketiga yang anda anggap kompeten ( orang yang betul-betul dapat menjembatani permasalahan anda, bukannya orang yang menambah buruk masalah).

Jadi, konflik bukan untuk dihindari bukan ??


Kamis, 05 Februari 2009

I N C E S T

Diam-diam banyak kasus incest terjadi di tengah keluarga.
Apakah yang disebut incest?
Benarkah umumnya melibatkan hubungan antara ayah dan anak gadisnya?

Ada yang menggugah Penulis untuk membahas kasus ini dari sisi Psikologi setelah membaca berita di surat Kabar Radar Cirebon hari ini tentang ayah kandung hamili anaknya.

Toy (68), warga kec.Mandirancan Kab.Kuningan, tega menggagahi anaknya sendiri, sebut saja Melati (16) siswi sebuah SMA di Cilimus. Akibat perbuatannya, sang anak kini hamil satu bulan.

Tersangka mengaku tidak bisa membendung hasrat seksualnya karena istrinya bekerja di Arab Saudi. "saya mengaku khilaf.." kata tersangka.
Memprihatinkan memang ...

Ada kasus lain, AS (14) gadis Surabaya ini menurut pemberitaan media massa telah kenyang pengalaman seksual. Pria yang menggaulinya tidak tanggung-tanggung, yaitu ayah dan kakak kandungnya sendiri.

Tiga tahun kemudian ia mengganggap perlu mengadukan ayah dan kakaknya kepada Hansip kampungnya. "Saya hanya ingin bebas dari mereka. Tapi maksud saya tidak usah sampai ke pengadilan", ujar gadis tersebut menyesal.

Sekejam-kejamnya harimau tidak akan memakan anaknya sendiri, pepatah itu mungkin tidak berlaku bagi Ii (40) warga Keluh, Tologo ternate-Maluku Utara. Ia tega mengauli anak gadisnya sendiri, sebut saja Mawar (16). Terlebih-lebih ia kerap menggauli Mawar selama tiga tahun terakhir hingga mengandung . . . Asttagaa . . .

Kasus hubungan selingkuh antara hubungan sedarah semacam ini lazim disebut incest. Meskipun kasus ini banyak terjadi di sekitar kita, baik yang terungkap ke permukaan maupun yang tetap tersimpan menjadi rahasia, incest dianggap oleh peradaban manusia umumnya (tidak oleh sekelompok masyarakat tertentu) sebagai penyimpangan perilaku seksual.

Masyarakat tradisional secara sederhana menyebutkan sebagai tabu, karena mereka tidak dapat menjelaskan alasannya secara ilmiah. Sedangkan masyarakat modern menolaknya dengan alasan genetik tidak sehat, disamping tentu saja karena alasan moral dan etik.

Menurut para ahli, incest juga umumnya menjadi problem bagi laki-laki dan bukan problem wanita. Meskipun juga ada ibu kandung yang berhubungan seksual dengan anak lelakinya, tapi kebanyakan incest melibatkan ayah-anak, kakak-adik, kakek-cucu, ataupun paman-keponakan.

Namun yang banyak menjadi obyek hukum dan media massa menurut berbagai pengalaman di berbagai negara termasuk Indonesia adalah hubungan ayah-anak.

Menurut DR. Jack G. Weir, seorang Psikolog, dalam kasus yang banyak orang dianggap perilaku jahanan itu, pertanyaan yang layak muncul bukan "manusia macam apa?" atau "ayah macam apa?" yang sanggup berbuat begitu.

Bagi DR. Weir, persoalan yang lebih penting adalah, "lingkungan keluarga macam apa yang bisa mendorong seorang ayah berbuat nekat itu?".

Menurut pengalaman klinis DR.Weir, ayah pelaku incest biasanya lemah atau khilaf secara seksual sementara kehidupan perkawinan juga kacau balau. Ada juga yang melihat sejumlah faktor lain yang turut mendorong terjadinya hubungan seksual tidak lazim itu, antara lain :

Pengaruh kecanduan alkohol, emosi tidak stabil, kesulitan ekonomi, istri yang lama absen dari rumah (bagi istri yang lama absen dari kehidupan seksual suami), rumah yang terlalu sempit sehingga kurang privacy, juga termasuk kebiasaan semi-nudis di rumah.

Selain itu ada juga yang menyebut faktor terlalu lamanya ayah dan anak gadisnya terpisah serta terisolasinya sebuah keluarga secara geografis.

Kalaupun rumah yang terlalu sempit menjadi faktor pemicu, toh tidak berarti incest hanya terjadi di kalangan ekonomi lemah saja seperti contoh di atas. Sebab incest ternyata terjadi disemua lapisan masyarakat dan yang terbanyak perselingkuhan seksual antara kakak dan adik.

Jika kasus ini terkesan hanya terjadi di lapisan bawah, itu mungkin karena keluarga lapisan atas lebih bisa menyimpan peristiwa memalukan itu sebagai rahasia keluarga. Sebab dari berbagai tulisan diketahui, banyak istri yang sebenarnya tahu apa yang terjadi pada suami dan anak gadisnya tapi lebih memilih diam demi menjaga keutuhan dan martabat keluarga.

Ada juga yang tidak ingin suaminya masuk penjara, tapi ada juga yang kemudian ia ikut ambil bagian dalam kesalahan itu karena sering menolak ajakan berhubungan intim atau lama absen dari kehidupan suami.

Disisi lain juga banyak anak yang tidak berani menceritakan pengalaman buruknya, justru karena yang melakukan adalah anggota keluarganya sendiri.

Dalam incest juga dikenal beberapa kategori. Menurut Biaggio dan Swanson, jenis pertama disebut pedophilic incest : terjadi pada seorang ayah yang tidak matang psikoseksualnya dan kesulitan seksual, yang untuk memenuhi fungsi seksualnya memilih berhubungan dengan anak perempuan atau laki-lakinya, atau anak orang lain.

Jenis kedua disebut Psychopathic incest : terjadi pada seorang ayah yang menderita psikopat (sakit jiwa) yang menganggap kebanyakan orang (termasuk anaknya) sebagai obyek. Karenanya pada ayah jenis ini umumnya tidak atau hampir tidak memperlihatkan rasa bersalah atas perbuatannya dan tidak pula memilih-milih dalam melakukan hubungan intim. Artinya dengan orang di dalam atau di luar rumah baginya sama saja. Perilaku seksualnya konon mendekati perkosaan.

Jenis ketiga disebut family-generated incest : dimana ayah adalah seorang yang pasif dan ibu seorang yang terganggu kepribadiannya. Akibatnya perkawinan hampir tidak berarti apa-apa dan anak menjadi sasaran seksual (biasanya anak perempuan sulung). Si anak praktis menjadi semacam "gundik" bagi ayah dalam arti sesungguhnya.

Melengkapi kategori di atas, Jack G.Weir menyebut kategori lain yaitu mereka yang tidak sanggup membedakan siapa yang layak menjadi pasangan seksualnya, seringkali karena pengaruh alkohol (indiscriminately promiscuous).

Ada kategori lain lagi yang disebut endogamic men, terjadi pada pria yang mengurung diri secara eksklusif untuk keluarganya. Biasanya pria jenis ini kelewat kolot, moralistik dan religius. Sehingga ia tidak ingin anak perempuannya berhubungan atau menjadi milik orang lain, karena ia lebih suka memiliki sendiri anaknya sampai kepada tubuhnya.

Akibat hubungan seksual antar keluarga ini cukup serius bagi si anak, adik, cucu, atau keponakan korban. Bahkan juga anggota keluarga lain yang tidak menjadi korban secara langsung akan malu, marah, menjadi rendah diri, adalah perasaan-perasaan yang biasanya muncul setelah peristiwa yang tak diharapkan itu terjadi.

Bagi si anak yang menjadi korban langsung, peristiwa itu seringkali mendatangkan trauma dan gangguan emosional dalam waktu lama. Yang juga banyak terjadi, mereka kemudian lebih suka mengasingkan diri dari pergaulan terutama dengan lawan jenis.

Ada kalanya mereka juga menjadi takut terhadap hubungan seksual atau bisa jadi sebaliknya. Dalam sebuah studi di Amerika Serikat, tigaperempat pelacur yang diinterviu mengaku kalau mereka pernah menjadi korban hubungan seksual anggota keluarganya.

Apakah perilaku menyimpang ini dapat disembuhkan?

Para konsultan Psikologi sejauh ini dapat membantu pelakunya maupun korban agar dapat kembali menjadi orang yang normal, termasuk menyembuhkan traumatik anak yang menjadi korban.

Sayangi dan cintai anak anda akan tetapi bukan berarti untuk dimiliki dan dinikmati tubuhnya...


Rabu, 04 Februari 2009

MEREKA YANG MARAH

Kenapa orang banyak itu gampang terbakar emosinya?
Siapa sebenarnya musuh mereka ?
Inilah fenomena agresivitas di sekitar kita ?

Sangat memprihatinkan membaca surat kabar Radar Cirebon hari ini yang memberitakan insiden pengrusakan dan penganiayaan yang dilakukan oleh massa pendukung pemekaran Provinsi Tapanuli (Protap) terhadap Ketua DPRD Sumut Drs. Azis Angkat, hingga tewas selain juga korban mengidap penyakit jantung.

Ada kisah yang lain, Februari 1992, kota Malang geger. Gara-gara kecewa karena tidak mendapat kendaraan untuk mengangkut suporter ke Surabaya menyaksikan kesebelasan mereka berlaga, para suporter Persema mengamuk. Puluhan mobil Surabaya bernomor polisi L, yang mereka jumpai diluluhlantakan.

Huru-hara akibat bola, bukan pertama kali ini terjadi. beberapa tahun lalu, stadion utama senayan pernah terbakar, juga gara-gara amukan suporter bola.

Di Inggris, kesebelasan Liverpool, bahkan sampai diskors gara-gara suporternya mengamuk dan mengakibatkan jatuhnya korban tewas dalam peristiwa yang dikenal Tragedi Heysel, di Brussel pada tahun 1985.

Agresivitas dahsyat pernah pula terjadi saat grup musik Slank maupun Mick Jagger mengadakan pertunjukan di gelora Senayan beberapa tahun lalu. Dan lagi-lagi puluhan mobil menjadi sasaran pengrusakan penonton.

Sejumlah pengamat menuding, bahwa para pelakunya yang umumnya anak-anak muda itu adalah anak-anak yang kurang mendapat pendidikan, dan berasal dari keluarga berantakan, sehingga kurang mendapat perhatian orang tua dan seterusnya.

Sebagai solusinya, keluarga sebagai kesatuan terdekat harus menanamkan pendidikan dan kasih sayang yang terbaik. Meskipun faktor keluarga mempengaruhi pembentukan watak diri seseorang, tapi agaknya gerakan massa yang cenderung spontan itu tidak demikian mudah dilihat sebagai gejala yang berasal dari ketidakharmonisan kehidupan keluarga belaka.

Ada banyak pra-kondisi kenapa seseorang sampai terlibat dalam gerakan massa yang agresif semacam itu.

Eric Hoffer, seorang filsuf otodidak dari Amerika justru melihat orang-orang yang rentan terhadap gerakan massa (terlepas dari apapun sifat gerakan massa itu : agama, rasial, sosial, nasionalisme, ekonomi, dan lain-lain) adalah mereka yang tidak puas, kecewa, gagal atau frustasi.

Frustasi disini berbeda dari pengertian umum dalam psikologi, yaitu hambatan psikis yang menyumbat dorongan untuk menyalurkan energi, aspirasi dan ambisi secara bebas yang mengakibatkan tekanan emosi.

Hoffer mengartikan frustasi sebagai orang yang kecewa dan tidak puas. Berarti mereka yang merasa hidupnya terlepas dari apapun yang menjadi penyebabnya sudah rusak dan sia-sia.

Menurut Hoffer "mereka yang frustasi ini paling mudah dijumpai pada kalangan miskin, orang tersingkir, kaum minoritas, para remaja, orang yang berambisi, orang yang diperbudak oleh kebiasaan buruk atau godaan tertentu, orang yang lemah baik jiwa atau raga, orang yang terlalu mementingkan diri sendiri, orang yang bosan baik terhadap diri sendiri maupun keadaan lingkungan serta orang yang merasa berdosa".

Termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang yang canggung sementara maupun mereka yang canggung abadi. Yang termasuk golongan pertama, yakni mereka yang belum menemukan tempat dalam hidup tapi berharap menemukannya. Misalnya remaja tanggung, lulusan perguruan tinggi yang masih menganggur, bekas tentara (Para pensiunan), pendatang baru dan sebagainya.

Sedangkan yang masuk golongan dua adalah mereka yang karena tidak memiliki bakat atau kerena kelemahan jiwa atau raganya, tidak dapat melakukan sesuatu hal yang sungguh-sungguh diinginkannya.

Perilaku menyerang dan merusak itu sendiri dipandang secara berbeda oleh para ahli. Sigmund Freud misalnya, memandangnya sebagai perilaku yang muncul untuk mengimbangi kekuatan Eros (seks dan hidup).

Sedangkan Lorenz memandangnya sebagai perilaku yang didorong oleh naluri agresi. Dorongan untuk bertindak agresif itu akan muncul jika ada kondisi yang memungkinkannya.

Dari beberapa penyelidikan diketahui, suasana yang hiruk-pikuk mendorong agresivitas atau tindak kekerasan menjadi meningkat. Lebih-lebih dalam suasana lautan massa yang susah dikendalikan, udara yang panas dan berdesakan, semua itu bisa menjadi hambatan untuk mengendalikan emosi.

Eric Fromm berpendapat bahwa manusia massa pada dasarnya adalah manusia yang terisolasi dan kesepian, meskipun mereka menjadi bagian dari suatu kerumunan. Mereka satu sama lain praktis hanya dihubungkan oleh media massa.

Dalam hal tindakan merusak, menyerang bahkan menyakiti diri sendiri atau bunuh diri dapat menjadi pelampiasan yang memberikan kesenangan dan kepuasan, baik ketika berada diantara massa maupun saat sendiri.

Memang hanya manusia (justru bukan binatang, yang melakukan agresi lebih untuk melindungi atau mempertahankan diri) yang bisa menciptakan kerusakan, kekacauan, dengan tujuan mendapatkan kesenangan.

Dan untuk itu manusia dapat dengan sabar menunggu waktu ataupun menciptakan situasi untuk membuat kerusakan atau kekacauan.

Tapi apa sebenarnya yang membuat massa nampak seperti sebuah kesatuan yang kompak dalam melakukan agresi padahal tidak ada pemimpin diantara mereka, tidak ada rencana bertindak, dan tidak ada kata sepakat yang mendahului tindakan mereka?

"Kita perlu memiliki musuh yang berujud dan bukan sekedar musuh yang abstrak", ujar Hitler, seorang agresor yang sulit dicari tandingannya.

Dengan kata lain adanya musuh bersama menjadi pemersatu bagi suatu massa. Untuk massa pendukung suatu kesebelasan, musuh yang bisa menjadi sasaran mereka jelas, yaitu kesebelasan lawan maupun suporter lawan.

Lebih-lebih jika kesebelasan lawan cukup atau lebih tangguh dari yang mereka dukung, maka rasa benci akan menjadi semakin besar sehingga bukan mustahil jika agresi pun semakin keras. Dan di sana tidak ada lagi pikiran jernih yang membedakan mana musuh yang sesungguhnya dan bukan, sehingga pemindahan rasa benci dapat dilakukan terhadap obyek lain yang dianggap sama.

"membenci musuh yang banyak memiliki hal-hal yang baik dalam dirinya lebih mudah dari pada membenci musuh yang tidak memiliki hal yang baik sama sekali dalam dirinya. Sulit bagi kita untuk merasa benci pada orang yang kita anggap rendah" ujar Hoffer.

Selain itu rasa fanatikpun menurt Hoffer akan mudah menyulut kekerasan dan sebaliknya kekerasan juga akan menghasilkan fanatisme. Tapi mana yang lebih dulu mendatangkan yang lain, mungkin sulit dibuktikan seperti antara ayam dan telor.

Yang jelas fanatisme adalah faktor lain yang juga mudah mendorong gerakan agresif merusak.

Faktor lain lagi yang mempermudah orang larut dalam massa yang agresif adalah faktor terpisahnya diri pribadi dengan massa. Ini menyebabkan tidak ada lagi identitas diri dalam massa tersebut atau yang disebut krisis identitas sehingga keterpisahan ini sekaligus berarti terlepasnya rasa tanggungjawab pribadi atas semua tindakan, termasuk efek yang ditimbulkannya.

Tak adanya tanggungjawab ini memungkinkan orang menuju kearah perilaku yang meluap-luap tanpa kendali. Di dalam massa, orang seolah-olah merasa menemukan kebebasan untuk membenci, bertindak semena-mena, menyiksa, menyakiti, bahkan sampai membunuh tanpa perasaan malu dan perasaan bersalah.

Menurut Hoffer, disini pula sebenarnya letak daya tarik suatu gerakan massa. Seolah-olah disana ada hak untuk menodai secara sah, sesuatu yang sangat memikat bagi massa yang merasa tidak dituntut suatu tanggungjawab terhadap siapa pun dan apapun.

Meskipun demikian, agresivitas tidak selalu berbahaya. Ada juga jenis agresivitas yang tidak berbahaya. Misalnya agresi untuk membela diri, dorongan untuk main-main, maupun agresi yang tidak didorong oleh rasa benci.

Tapi penggolongan inipun hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Sebab betulkah agresivitas yang main-main itu tidak berbahaya kalau main-main itu sendiri menghasilkan kekacauan?

Sejumlah pakar mencoba menberi jalan keluar yang jitu. Misalnya, untuk mengatasi massa yang agresif mereka berpendapat bahwa pendekatan yang lembut akan mencegah dan menghentikan mereka.

Tapi sejumlah pakar lain menyangsikannya. Eric Hoffer misalnya, mengakui bahwa kekerasan adakalanya justru lebih ampuh mengatasi perilaku massa yang agresif atau destruktif. Dan kenyataannya itu sering digunakan dalam praktek sehari-hari di banyak negara, meskipun kadang-kadang sampai terasa kelewatan.

Tapi mereka yang marah itu pun memang keterlaluan.. kelewatan memang...




Selasa, 03 Februari 2009

J E N U H

Apa sih rasa Jenuh itu?
Banyak negara memanfaatkan perang sebagai pemupus rasa jenuh.
Sejumlah kasus bunuh diri pun diduga penyebabnya rasa Jenuh.
Bagaimana menghindarinya?

"Mau-maunya dengar kampanye", begitu komentar Eet ketika memergoki orang tuanya mendengarkan kampanye sebuah Parpol di TV.
"Sudah tiap hari kita dengar kampanye, toh kampanye sudah terbukti tidak mengubah apa-apa", katanya.


Seorang suami mengeluh, ia tidak memiliki perasaan istimewa lagi terhadap istrinya.
"Tidak ada lagi getaran khusus maupun rasa rindu yang hebat, meskipun sebulan kami tidak bertemu. Semuanya biasa-biasa saja, dan semuanya seperti sudah saya hapal. Padahal dia tetap cantik dan menarik seperti sedia kala", ujar Abdul (37) yang baru menikah tiga tahun ini.
"saya bosan", katanya.

"ternyata hati tak bisa berdusta, meski ku coba tetap tak bisa . . .
dulu cintaku banyak padamu ...
entah mengapa.. ?? kini berkurang . . .
maaf ku jenuh padamu . . . "

Neni (36) seorang ibu dengan dua anak, bercerita bahwa ia tidak lagi memiliki antusiasme terhadap apa saja. "Seharusnya saya malu memiliki perasaan semacam itu. Karena hidup saya sesungguhnya enak. Boleh dikata saya memiliki semua hal yang diinginkan banyak orang. Saya punya suami sukses dalam bisnis, punya anak-anak yang cerdas, rumah dan mobil yang bagus. Saya juga punya pergaulan luas dan bisa melakukan apa saja yang saya inginkan. Bahkan saya pernah punya affair. Tapi saya merasa bosan. Hidup saya terasa kosong. Saya merasa tidak bahagia dan saya tidak tahu kenapa", kata Neni.

" maaf ku jenuh padamu . .
lama sudah ku pendam . . . tertahan di bibirku . . .
mau ku tak menyakiti . . . meski begitu indah . . .
ku masih tetap saja . . . jenuh . . . "

Jenuh. Itulah sebutan paling tepat untuk ketiga kasus di atas. Perasaan semacam itu bisa jadi bukan kasus istimewa, karena bisa menimpa banyak orang di mana saja.

Begitu lumrahnya, seorang ilmuan pernah menyebut rasa jenuh ini sebagai penyakit sosial (bukan sekedar individual) nomer satu di dunia. Seorang ahli lain menyebutnya sebagai bagian yang melekat secara alamiah pada masyarakat modern.

Karena itu pula, rasa jenuh sering tidak pernah dianggap sebagai gejala serius dan kita lebih suka bersikap pasif terhadap kehadirannya.

Akibatnya rasa jenuh tidak pernah mendapat perhatian secara dramatis seperti halnya penyakit kanker atau AIDS, misalnya kita tak pernah mendengar ada lembaga anti jenuh dan sejenisnya, meskipun jumlah penderitanya mungkin paling dramatik dibandingkan penyakit lain.

Menurut Sam Keen, ahli psikologi yang menaruh perhatian besar terhadap kejenuhan ini, banyak kasus bunuh diri dan meningkatnya pemakaian obat terlarang maupun alkohol dapat menjadi pertanda merebaknya penderita kejenuhan ini dalam berbagai tingkat.

Di negara maju macam AS, kabarnya banyak pasien datang kepada para dokter dengan bahasa yang hampir sama :
"Dok, saya tidak tahu apa yang saya rasakan. Tapi seperti ada yang hilang, cuma saya tidak tahu apa itu".


Dan ironisnya itu terjadi di lingkungan masyarakat berteknologi modern yang sesungguhnya banyak menciptakan aneka produk yang bersifat melayani masyarakat agar terhidar dari rasa jenuh. Sam Keen menyebut masyarakat AS mengalami phobia kejenuhan.

Selain mendorong penderitanya untuk bunuh diri, rasa jenuh juga sering mencetuskan perang antar negara. Ini karena musuh utama rasa jenuh adalah antusiasme terhadap hidup dan mimpi-mimpi kita. Jika kedua hal tersebut telah rusak dan hancur, apa lagi yang akan tersisa?

Dari berbagai pengalaman dapat disebutkan beberapa penyebab rasa jenuh :
  • Rutinitas,
  • tidak ditemukan hal-hal baru,
  • tidak diperoleh harapan akan adanya perubahan lebih baik,
  • keadaan yang statis,
  • Tidak ditemukan daya tarik,
  • Tidak ditemukannya suatu arti/makna hidup
Tapi kapan ia mulai menyerang, sangat sulit mendeteksinya dan sulit mengingatnya. Tiba-tiba sudah terserang depresi, tiba-tiba sudah tidak punya hasrat lagi, dan tiba-tiba sudah tidak ingin hidup lebih lama lagi...
Astagfirallah al'azim...


Banyak orang sesungguhnya telah berusaha menghindarkan diri dari rasa Jenuh dengan melakukan berbagai cara. Ada yang berusaha terus sibuk sampai habis waktu, tidak henti-henti melakukan sesuatu dan menghasilkan sesuatu.

Contoh lainnya yaitu dengan terus menerus memanjakan diri dengan hiburan entah itu dengan TV, VCD, DVD, radio, Film, dan sebagainya. Dan masih banyak cara lain yang diambil untuk menghindarkan diri dari kejenuhan.

Tapi menurut Sam Keen, menghindar dari penyakit Jenuh ini, dengan cara apapun justru mendatangkan kesedihan yang lain.

Pertama kelelahan, "kita akan selalu letih, secara psikologis kita akan mengalami depresi, tapi pada tingkat ekonomi-politik kita akan mengalami resesi, stagnasi, dan pengaturan kembali", ujar Keen dalam salah satu tulisannya.

Kedua, menghindarkan diri dari kejenuhan justru akan menimbulkan kekerasan dalam berbagai bentuk :
  • Salah satu bentuk kekerasan adalah perceraian. mengapa perceraian disebut kekerasan, karena bagaimanapun juga perceraian akan mendatangkan luka dan penderitaan bagi keluarga yang terceraikan
  • Pemakaian obat terlarang maupun alkohol yang bisa berakibat buruk
  • Berbagai bentuk kenakalan dan perilaku kekerasan yang dilakukan remaja, oleh Keen juga dinilai sebagai akibat dari usaha menghindarkan diri dari kejenuhan terhadap keadaan
  • Upaya bunuh diri merupakan kekerasan yang ditempuh oleh penderita kejenuhan yang introvert, sedangkan perang adalah pilihan bagi yang ekstrovert
  • Perang biasanya menjadi usaha akhir dari sebuah negara untuk menghindarkan diri dari kejenuhan. Bagi negara yang menyukai "petualangan" dari perang ini diharapkan buah lain berupa semangat hidup baru dan munculnya kehormatan. Padahal apapun yang dihasilkan perang tetap keras dan menimbulkan jatuh korban
  • Menderita sakit. Banyak orang yang menderita sakit fisik, misalnya kanker mapun psikosomatis karena menghindarkan diri dari rasa Jenuh
Jika menghindarkan diri dari rasa jenuh terbukti mendatangkan persoalan baru, lalu apa yang sebaiknya ditempuh jika kita mengalami kejenuhan?

Bertrand Russell berpendapat, rasa Jenuh adalah problem vital kaum moralis, karena separuh dari penderitaan umat manusia disebabkan oleh rasa takut terhadap kejenuhan itu.

Karena itu, Keen menganjurkan, "sebaiknya kita merengkuh saja dan bukannya menghindarinya. Jangan lari darinya, dan jangan mencoba menghindarinya. Cobalah untuk berpikir positif", ujar Keen.

Salah satu patokan dasar kejiwaan berbunyi : apapun yang anda tentang akan bertahan. Jadi sebaiknya memang tidak juga ditentang. nikmati sajalaah . . .

Dengan mencoba mengenali rasa Jenuh itu kita memang akan tahu apa yang menjadi motivasi kita, apa nilai yang kita pegang, lalu apa resiko yang harus kita ambil untuk mendapatkan kehidupan yang berarti ini.

Mudah-mudahan Andapun tidak Jenuh membaca tulisan ini. Semoga.


Senin, 02 Februari 2009

SADISME

Ucapan ini hampir setiap kali terlontar jika kita menemukan hal-hal yang kita anggap kelewatan.

Apakah yang disebut sadisme?

Para orang tua ternyata punya peran besar dalam membentuk watak sadis pada diri anak.

Apakah seseorang yang memiliki temperamen tinggi, berbicara kasar atau bertampang keras selalu indentik dengan orang berwatak sadis?

Dalam kenyataan, sering kali seorang yang oleh orang-orang dekatnya dikenal sangat halus, murah hati, penuh perhatian, murah senyum, bahkan sangat dermawan malah sering-sering dianggap berwatak sadis.

Sebagai contoh, beberapa bulan lalu terjadi kasus pembunuhan oleh Ryan di Jombang-Jawa Timur, lebih dari sepuluh korban setelah diusut ternyata pelakunya adalah seorang guru ngaji yang alim dan lemah lembut cenderung feminim. Ketika hal itu terungkap, banyak tetangga, dan keluarganya bersikap tidak percaya. Tapi itulah yang terjadi.

Contoh yang sangat klasik (tapi kasus sadisme seberat ini memang jarang walau di dunia modern ini masih tetap terjadi) adalah Heinrich Himmler (kepala dinas rahasia Nazi, SS) yang bersama-sama Hitler bertanggung jawab terhadap matinya sekitar 15-20 juta warga Rusia, Polandia dan Yahudi yang tak bersalah.

Oleh lingkungan dekatnya Himmler pun semula dikenal sebagai orang yang sangat baik dan penuh perhatian. Pernah pada suatu hari karena merasa iba terhadap istri bawahannya karena suaminya di rumah sakit, Himmler mengirim mobilnya agar istri bawahannya itu tidak repot mondar-mandir ke rumah sakit.

Himmler memang pandai menenangkan hati orang yang gelisah, sehingga orang-orangpun percaya kepadanya. Tapi tanpa disangka, bawahannya itu tewas atas perintah Himmler juga.

Siapa yang tidak terkecoh dengan penampilan Himmler? Yang baik disangka sadis dan yang sebenarnya sadis disangka baik hati.

Dalam pandangan pakar perilaku, sadisme adalah hasrat seseorang untuk mengontrol, menyakiti dan mempermalukan orang lain. Intensitas dari hasrat untuk berlaku sadis ini ada kalanya berdampak pada impuls-impuls seksualnya.

Ini tidak berbeda dengan kenyataan bahwa beberapa tindakan nonseksual seperti memperlihatkan kekuasaan, kekuatan ataupun narsisme (tindakan yang memperlihatkan kecintaan yang sangat besar terhadap diri sendiri) dapat merangsang hasrat seksual.

Beberapa ahli yang seide dengan Sigmund Freud menyebutkan bahwa tindakan sadis merupakan dorongan yang muncul karena hasrat seksual seseorang. Tak jarang, sadisme juga adakalanya menjadi salah satu jalan keluar dari keinginan seseorang untuk "lahir" kembali sebagai manusia baru.

Eric Fromm bahkan menyebut sadisme sebagai transformasi dari ketidakuasaan (inpotence) ke dalam pengalaman yang mahakuasa (omnipotence).

Sadisme menurut Fromm, adalah karakter yang tidak mudah dimengerti, kecuali jika dilihat struktur karakter seseorang secara keseluruhan. Sebagai gambaran, Himmler yang kita singgung di atas seorang anak yang dibesarkan oleh Ibu yang dominan dan otoriter serta ayah berwatak lemah (dibandingkan ibunya).

Keadaan ini umumnya memang mendorong terciptanya watak sadis pada anak. Namun demikian, beberapa orang yang memiliki orang tua demikian toh tidak menjadi seorang yang sadis seperti Himmler.

Tapi secara umum, orang berwatak sadis cenderung ingin mengontrol orang lain dan menjadi sesuatu yang memiliki obyek untuk dikontrol. Orang semacam ini ingin menjadi "tuan" dalam hidup dan nilai hidupnya memang ditentukan oleh korban yang dijatuhkannya.

Ciri lain dari watak sadis, ia hanya terangsang oleh keadaan atau orang yang lemah dan tidak pernah oleh yang kuat. Sebab bagi seorang yang berwatak sadis berhadapan dengan yang kuat tidak pernah menghasilkan kekuatan yang imbang.

Lebih-lebih karena yang diinginkannya memang mengontrol orang lain yang lemah, yang tidak sanggup untuk melawannya. Sebab itu bagi seorang yang sadis ada satu hal yang sangat penting dalam hidupnya yaitu kekuasaan.

Yang dimaksud kekuasaan adalah kekuasaan terhadap sesuatu maupun kekuasaan untuk menjadi sesuatu. Beberapa ahli menyebutkan, seorang yang sadis biasanya takut terhadap segala sesuatu yang tidak pasti dan tidak dapat diperkirakan. Tak lain karena ia khawatir menghadapi reaksi yang spontan dan tiba-tiba yang tidak dapat dikuasai atau dikontrolnya.

Dengan alasan ini pula, maka mereka ada kalanya menjadi takut terhadap hidup itu sendiri, termasuk dengan cinta. Akibatnya masuk akal jika orang yang berwatak sadis hanya bisa terlibat dalam cinta dan menyukai hidup apabila ia dapat mengontrolnya.

Faktor lain adalah sifat yang submisif (tunduk, patuh) dan pengecut, ini memang tampak kontradiktif bahwa seorang yang sadis adalah orang yang submisif. Tapi begitulah kenyataannya.

Seseorang menjadi sadis karena ia lemah, tidak berkuasa dan diabaikan. Untuk itu ia berusaha mengkompensasikan kekurangan ini dengan memiliki kekuasaan atas orang lain dan dapat melakukan apa saja yang ia inginkan.

Bila ini dikaitkan dengan orang-orang yang terlibat dalam politik, karakter yang melekat pada orang semacam ini adalah tipe otoritarian. Cirinya menekan ke bawah tapi tunduk dan patuh pada atasan.

Kenyataannya, mengapa seseorang sampai memiliki watak sadis?

Ini bukan semata-mata faktor individual tapi merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sejak dari keluarga, lingkungan pergaulan maupun sistem sosial suatu masyarakat.

Faktor individual yang mendorong seseorang memiliki watak sadis adalah perasaan sepi, kosong, tidak dihargai dan tidak memiliki kuasa yang dirasakan di waktu anak-anak.

Tapi seorang anak yang tidak memiliki watak sadis dapat saja berubah menjadi sadis di masa remajanya atau ketika dewasa jika dalam perkembangan selanjutnya ada keadaan yang membuatnya merasa sepi, kosong, tidak bahagia dan tidak berarti.

Ada kalanya perasaan ini juga tumbuh kerena kondisi tubuh yang lemah ataupun cacat. Tapi tidak selalu berarti bahwa seorang yang bertubuh lemah atau cacat dapat menjadi orang yang sadis. Juga tidak selalu berarti orang yang tidak memiliki kekuasaan dengan sendirinya akan menjadi sadis. Seperti halnya kasus Himmler, hal ini harus dilihat secara keseluruhan struktur wataknya.

Repotnya seseorang yang besar dalam lingkungan tergolong sadis, perilaku itu tidak akan berubah begitu saja jika ia berada di lingkungan yang tidak sadis. Kalaupun ia tidak menampakan wataknya yang sadis, itu hanya sementara waktu.

Tapi jika ada keadaan yang memancingnya, bukan mustahil ia akan berlaku sadis. Karena itu, memang lebih baik mencegah dan berhati-hati dalam membentuk watak ketimbang sudah terlanjur dan sukar diperbaiki.

Para orang tua yang memiliki anak harus menyadari, jika mereka berlaku kejam, tidak menghargai, atau mengabaikan anaknya, ini saja sudah merupakan bibit yang bisa melahirkan anak yang berbakat sadistis.

Waspadalah... waspadalah...



Selasa, 27 Januari 2009

SADOMASOKHISME

Hari ini penulis membaca berita di surat kabar Radar Cirebon rubrik Insiden 24 jam tentang seorang istri yang bernama Tuti (18) yang melaporkan suaminya yang bernama Yul (22) ke Polresta karena sering memukuli sambil memaksa untuk melakukan hubungan seksual.
"Karena saya sudah kesal, maka saya bikin laporan itu agar dia kapok", kata Tuti.

Kini kasus KDRT tersebut masih dalam penyidikan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Sat Reskrim Polresta Cirebon.

Dari kasus tersebut, mari kita bahas dari sisi Psikologi.
Apa itu sadomasokhisme?
Apa enaknya disakiti dan menyakiti?
Benarkah memang kecenderungan itu ada pada kita?

Halim (bukan nama sesungguhnya), 37 th, kini dilanda konflik batin. Pasalnya, setiap kali melakukan hubungan intim dengan istrinya, ia selalu "menghajar" istrinya dalam arti sesungguhnya. Dengan itu, Halim mendapatkan kepuasan seksual.

Tapi setiap kali ia sadar, ia sedih karena merasa telah berlaku kejam. Pada dasarnya, Halim tidak ingin melihat istrinya kesakitan. Repotnya, disisi lain ia membutuhkan kesadisan itu.

Untunglah, Siti istrinya meskipun pada awalnya merasa marah dan terhina, lama-lama bisa memaklumi keadaan suaminya Halim sehingga perilaku sadisme itu tidak lagi terasa sadis baginya.

Lebih-lebih karena Halim menyatakan terus-terang penyimpangannya, sebelum mereka memutuskan menikah.

Lain lagi kasus George di USA yang sampai dijatuhi hukuman penjara sembilan tahun karena terbukti membunuh wanita penghibur yang dikencaninya.

Kepada konsultan Psikologinya, George masih tetap berkata "Saya tidak pernah bermaksud membunuhnya. Saya hanya ingin mendapatkan kepuasan seksual".
Menyedihkan memang...

Mendapatkan kepuasan seksual melalui kekerasan (menyakiti atau disakiti secara fisik, biasanya melalui cubitan, pukulan, tamparan, bahkan lecutan, dan sebagainya) seperti kasus di atas merupakan penyimpangan perilaku yang disebut sadomasokhisme.

Istilah ini merupakan penggabungan dari dua perilaku berlawanan, yaitu sadisme (orang yang mendapat kepuasan seksual dengan cara menyakiti pasangannya) dengan masokisme (orang yang mendapat kepuasan seksual dengan cara disakiti).

Kenapa sadisme digabungkan dengan masokhisme, setidaknya ada dua pendapat.
Pertama karena penderita biasanya butuh pasangan yang masokhistis.
Kedua, penderita bisa memiliki dua peran sekaligus, sadistis dan masokhistis.

Seorang pakar perilaku yang banyak mengamati masalah ini Dr. Jack G. Weir, menyebutkan sebagai sadomasokhisme yang sebenarnya, jika orang menikmati memberikan punisment sekaligus menikmati mendapat punisment.

Pengidap sadomasokhisme ada tiga kategori, yang hanya ingin disakiti, yang hanya ingin menyakiti, dan yang menginginkan disakiti maupun menyakiti. Jenis yang disebut terakhir ini umumnya terdapat pada pasangan homoseksual.

Pasangan ini biasanya memiliki relasi sejajar atau sama, baik menjadi "tuan" maupun "budak" secara bergantian.

Sedangkan sadisme umumnya diderita pria, sebaliknya masokhisme kebanyakan diderita wanita. Hal ini ditunjang oleh temuan para ahli bahwa pada wanita memang sering kali muncul keinginan untuk diperlakukan secara kasar, secara paksa dalam hubungan seksual. ???

Sebuah studi yang dilakukan oleh Gebhard, juga menemukan bahwa para pemerkosa umumnya memiliki mimpi sadistis atau berfantasi sadistis selama masturbasi.

Tapi Weir berpendapat, bahwa baik pria maupun wanita yang diteliti umumnya berfantasi secara spontan tentang prilaku sadomasokhisme ini ketika mereka dirangsang.

Dalam beberapa kasus bahkan dalam fantasinya si partner yang menimbulkan rangsangan seksualnya adalah seorang teman lama.

Mungkin masih dapat dipertanyakan, mengapa pada sadomasokhisme pria cenderung untuk menyakiti dan wanita sebagai peran ingin disakiti.

Tapi secara singkat dapat dijelaskan, ini ada kaitannya dengan pembagian peran seksual masyarakat yang lebih meletakan pria adalah superior dan wanita adalah inferior.

Yang juga menjadi tanda tanya, apakah penyimpangan semacam ini ada dan cukup banyak di sekitar kita?

Angkanya memang tidak jelas. Yang jelas adalah cukup banyak orang yang menikmati dan menolak bentuk interaksi agresif selama berhubungan seksual.

Survei dari Hunt, memperlihatkan bahwa sepuluh persen pria dan delapan persen wanita berusia di bawah 35 tahun, diketahui mendapatkan kesenangan seksual dari perilaku sadomasokhisme. Meski praktek sadomasokisme memilki potensi bahaya cukup tinggi, toh itu tetap menjadi bagian dari kehidupan seksual orang tertentu.

Pada beberapa kasus sadomasokhisme, khususnya mereka yang cenderung pada sadisme, disebabkan oleh rasa bermusuhan yang berlebihan dan sifat menggenalisir. Ini biasanya terjadi pada seseorang yang memiliki perasaan tidak aman dan sangat marah pada suatu keadaan, kemudian ingin membalas dendam terhadap keadaan itu dengan cara melampiaskannya lewat hubungan seksual.

iiih.. serem juga yaa.. disakiti untuk dinikmati ..
atau dinikmati untuk disakiti... ??

takuuut aaahh . . .


Minggu, 25 Januari 2009

PARANOID

Sejumlah orang ternama dan artis diduga menderita paranoid.
Dan bukan mustahil, merekapun ada di sekitar kita.


Didi, seorang insinyur berusia 43 tahun, ayah dua anak, dikenal sangat cemerlang di kantor, bahkan menjadi andalan untuk proyek-proyek besar.

Dalam pergaulan sosialnya pun normal-normal saja. Namun, jika sudah berpikir tentang istrinya, perilakunya mulai ganjil.

Pria ini selalu curiga bahwa istrinya diam-diam main serong dengan laki-laki lain di belakang punggungnya dan bertujuan menguras kekayaannya.

Untuk itu, kadang-kadang pada jam makan siang, ia menyempatkan diri keluar kantor, naik taxi dan memata-matai rumahnya sendiri dari dalam taxi. Dengan itu, ia berharap bisa memergoki istrinya bersama laki-laki lain.

Dan tidak hanya itu, Didi pun bahkan diam-diam memasang alat penyadap telepon dari salah satu kamar, untuk mengetahui dengan siapa istrinya berbicara.

Prilaku Didi disebut ganjil karena ia membangun khayalan buruk tentang istrinya dengan tak berdasar sama sekali. Didi, diduga menderita paranoid.

Penderita paranoid pada umumnya memang memiliki delusi (khayalan) dan perasaan curiga yang luar biasa. Ada ahli yang membedakan paranoid secara garis besar ke dalam dua golongan, yakni paranoid dan paranoia.

seseorang disebut menderita paranoid jika ia memperlihatkan kekacauan dalam proses berpikirnya serta menampakan bentuk-bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang ekstrem, namun mereka tidak memperlihatkan kepribadian ganjil dan memburuk seperti nampak pada mereka yang umumnya disebut gila.

Bahkan Adolf Hitler, yang diketahui sanggup mengambil keputusan mengerikan dengan menghabiskan nyawa jutaan manusia itu tidak dianggap sungguh-sungguh gila oleh para pakar perilaku, melainkan sekadar menderita gangguan kepribadian (paranoid personality disorder). Tapi ada juga yang menyebutnya menderita paranoid skizofrenia.

Adapun penderita paranoia umumnya memiliki khayalan yang logis dan sistematis. Penderita paranoia biasanya merasionalisasi dirinya dengan pikiran dan keyakinan bahwa siapa saja yang berlawanan atau berbeda pandangan dengan dirinya adalah salah.

Selebihnya, mereka tidak memperlihatkan tanda-tanda ketidaknormalan jiwa. Mereka bahkan bisa berinteraksi secara normal terhadap setiap tanggapan atas aktivitasnya yang berada di wilayah khayalan itu.

Paranoia sendiri ada bermacam-macam jenisnya. Ada yang disebut persecutory paranoia. Penderita jenis ini konon terbanyak dibandingkan paranoia jenis lain. Penderita paranoia jenis ini ditandai dengan khayalan tentang akan adanya penyiksaan atau penganiayaan terhadap dirinya.

Mereka merasa yakin betul bahwa seseorang atau suatu kelompok sedang atau selalu memusuhinya dan merencanakan akan mengganggu dan merusak hidupnya. Diduga banyak pemimpin negara dan artis ternama yang menderita gejala persecutory paranoia ini.

Sehingga banyak tindakan yang kemudian mereka ambil mengarah pada upaya melindungi diri sendiri secara berlebihan. Mereka jadi sedemikian gampang curiga kepada orang yang tidak berada dekat dengannya.

Jenis paranoia lain adalah grandiose paranoia, yaitu penderitanya yakin bahwa mereka dikaruniai kemampuan dan kekuasaan luar biasa. Biasanya penderita paranoia jenis ini memanifestasikan dirinya sebagai seorang pemimpin pembaharu, pemimpin agama, dan pencipta yang sederhana.

Penderita paranoia jenis ini selalu merasa dirinya sebagai nyaris maha kuasa, paling hebat, paling menentukan, paling agung dan sejenisnya.

Contoh jelas penderita grandiose paranoia ini adalah Jim Jones (dia juga sekaligus menjadi contoh shared paranoid versi ahli lainnya), pemimpin spritual AS yang pada bulan november 1978 mengajak sekitar 900 orang pengikutnya untuk terlibat dalam upaya bunuh diri massal dengan minum racun kimia.

Kata-kata bahwa Tuhan selalu berada di pihaknya dan Tuhan selalu mendukung segala rencana yang dibuatnya seringkali muncul dari penderita grandiose paranoia ini.

Jenis paranoia lain adalah jealous paranoia, yang secara sederhana dapat dikatakan penderita memiliki rasa iri hati yang sedemikian hebat kepada orang lain. Biasanya penderita menangkap perilaku dan sikap tertentu dari orang lain dan kemudian menghubungkannya dengan ketidaksetiaan pasangannya atau orang yang berada di dekatnya.

Misalnya jika suami membeli parfum baru, bagi istri yang menderita paranoia, itu berarti suaminya telah menyeleweng.

Atau bila istri terlambat pulang kerja, bagi suami yang mengalami paranoia berarti istrinya nyeleweng dengan bosnya. Kasus Didi di atas adalah contoh yang jelas tentang jealous paranoia.

Ada lagi yang disebut erotic paranoia, yaitu penderita memiliki kayakinan keliru, semua orang dianggapnya selalu cinta kepadanya. Misalnya semua orang dianggapnya selalu cinta kepadanya.

Misalnya seorang teman baik memberikan senyum manis atau sentuhan persahabatan, oleh penderita paranoia akan diartikan sebagai tanda bahwa teman tersebut telah jatuh cinta padanya. Mungkin setelah itu ia akan mulai mengirimkan bingkisan dan berbagai hadiah.

Dan jika tanggapannya biasa-biasa saja, ia akan berpikir bahwa itu adalah ujian bagi sebuah cinta. Cukup banyak pria maupun wanita yang menderita erotic paranoia ini.

Yang menjadi pertanyaan mengapa seseorang bisa menderita paranoid?

Sejumlah pakar prilaku melihat kelainan jiwa ini dipupuk penderitanya semenjak kanak-kanak. Ada situasi yang menyebabkan mereka merasa demikian frustasi mengalami konflik emosi sehingga muncul perasaan luar biasa gelisah dan tidak aman.

Misalnya suasana rumah dirasakan sedemikian kaku dan otoritarian. Penyebab umumnya biasanya orang tua yang terlalu dominan atau kritis, sehingga anak merasa selalu ditolak dan merasa tidak aman.

Jika kita mawas diri, sesungguhnya banyak orang tua yang perilakunya menyebabkan trauma pada anak-anaknya. Misalnya menerapkan disiplin yang sedemikian kaku, seringkali membuat anak merasa dipermalukan, selalu menuntut anak berbuat sempurna secara kelewatan dan perlakuan kejam lain.

Penyebab lain paranoia adalah tak adanya rasa percaya terhadap orang lain. Ketidaksanggupan mempercayai orang lain ini muncul karena seringkali ia tidak mendapatkan umpan balik yang positif dalam pengalaman hubungan interpersonalnya, juga tidak ada ikatan emosional yang berarti.

Akibatnya, anak menjadi ekslusif dan hanya memiliki sedikit teman yang dapat dipercayainya. Tapi ketika dewasa, ia akan memiliki rasa percaya diri yang luar biasa (over convidence), self-assertve, suka mengkritik dan agresif.

Seseorang ada kalanya menderita paranoid juga karena selalu merasa gelisah dan marah pada keadaan, sehingga di matanya orang lain selalu menjadi sumber masalah baginya.

Sebaliknya karena sikapnya yang kemudian menjadi selalu curiga dan berjarak kepada orang lain, orang lainpun lebih suka menghindarinya dan menjadikannya bahan ejekan. Keadaan ini menjadi input balik lagi dan pada gilirannya persepsi yang salahpun semakin terbentuk.

Perasaan bersalah ada kalanya juga mendorong seseorang menjadi paranoid. Umumnya tindakan seseorang yang dirasakan sendiri terlalu jauh melampaui batas normal, etik dan moral dan ia merasa layak menerima hukuman.

Tapi pada gilirannya ia mulai berpikir bahwa hukuman itu memang sengaja direncanakan oleh orang-orang di sekelilingnya.

Dari sini kita akhirnya pun tahu, ternyata tidak gampang menjadi orang tua. Karena seringkali tanpa sadar, perilaku, sikap maupun kata-kata orang tua berdampak buruk terhadap perkembangan anak-anak.




SkiZOFRENIA

Salah satu jenis gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di seluruh dunia adalah skizofrenia.

Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa semakin modern dan industrial suatu masyarakat maka semakin besar pula stresor psikososialnya, yang pada gilirannya menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak mampun mengatasinya. Salah satu penyakit itu adalah gangguan jiwa skizofrenia.

Skizofrenia merupakan bahasan yang menarik perhatian pada konfrensi tahunan "The American Psychiatric Association/APA' di Miami, Florida, Amerika Serikat. Sebab di AS angka pasien skizofrenia cukup tinggi (lifetime prevalence rates) mencapai 1/100 penduduk.

Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu menilai realitas dan dirinya sendiri. Gejalanya, dibagi dua yaitu negatif dan positif.

Yang termasuk gejala positif adalah :
  • Delusi, yaitu suatu keyakinan yang tak rasional (tidak masuk akal) tapi diyakini kebenarannya,
  • kekacauan alam pikirannya,
  • Halusinasi, yaitu pengalaman pancaindra tanpa ada rangsangan (stimulus). Misalnya mendengar suara-suara/bisikan-bisikan padahal tak ada sumber dari suara/bisikan itu,
  • Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan,
  • Merasa diri "orang besar", merasa serba mampu,
  • Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya,
  • Menyimpan rasa permusuhan,
Yang termasuk gejala negatif, adalah :
  • Alam perasaannya (affect) yang "tumpul" dan "mendatar", dan ini terlihat dari wajahnya yang tak menunjukan ekspresi,
  • Menarik diri atau mengasingkan diri, tak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun,
  • Sangat sedikit kontak emosional, sukar diajak bicara (pendiam),
  • Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial,
  • Kesulitan dalam berpikir abstrak,
  • Tidak ada upaya dan usaha, tidak ada dorongan kehendak/inisiatif, tak ada spontanitas, monoton, serta tak ingin apa-apa, dan
  • Pola pikir stereotip.
Dari pengalaman praktek beberapa psikiater, tampak gejala positif skizofrenia baru muncul pada episode akut. sedangkan pada stadium kronis gejala negatifnya lebih menonjol. Tapi tidak jarang kedua gejala tersebut saling berbaur, tergantung pada stadium penyakitnya.

Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etilogi) yang pasti mengapa seseorang menderita skizofrenia. Ternyata dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan faktor tunggal. Penyebab skizofrenia menurut penelitian mutakhir, antara lain :
  1. Faktor genetika
  2. Virus
  3. Auto antibody
  4. Malnutrisi
Penelitian lain menyebutkan bahwa gangguan pada perkembangan otak janin juga mempunyai peran bagi timbulnya skizofrenia kelak dikemudian hari. Gangguan ini muncul misalnya karena kekurangan gizi, infeksi, trauma, toksin dan kelainan hormonal.

Penelitian terakhir menyebutkan bahwa meskipun ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut epigenetik faktor.

Kesimpulannya adalah bahwa skizofrenia muncul bila terjadi interaksi genetika dengan :
  • Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat mengganggu perkembangan otak janin,
  • Menurunnya autoimun yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan,
  • Komplikasi kandungan, dan
  • Kekurangan gizi yang cukup berat, terutama pada trimester kehamilan.
Orang yang sudah mempunyai faktor epigenetik tersebut, bila mengalami stresor psikososial dalam kehidupannya maka resikonya lebih besar untuk menderita skizofrenia dari pada orang yang tidak ada faktor epigenetik sebelumnya.

Perubahan-perubahan apakah yang terjadi pada susunan saraf (otak) pasien skizofrenia?

Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa perubahan-perubahan pada neurotransmiter dan reseptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neurokimia dopamin dan serotonin, ternyata mempengaruhi alam pikir, perasaan, dan prilaku yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia.

Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi di atas, dalam penelitian dengan menggunakan CT Scan otak, ternyata ditemukan pula perubahan pada pada anatomi otak pasien, terutama pada penderita kronis.

Perubahannya ada pada pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks bagian depan, dan atrofi otak kecil (cerebellum).

Dengan mengetahui psikopatologi dan patofisiologinya, para ahli telah menemukan obat anti skizofrenia yang berkhasiat memperbaiki sistem neurotransmiter di otak tersebut.

Obat itu mampu menghilangkan gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia, atau dengan kata lain pasien skizofrenia dapat disebuhkan.

Penelitian di bidang obat-obatan khususnya untuk skizofrenia dalam dua dekade terakhir, sungguh menggembirakan. beberapa tahun terakhir ini telah diperkenalkan obat anti skizofrenia generasi baru.

Obat-obat generasi lama (disebut sebagai anti psikotik tradisional) mempunyai banyak keterbatasan sehingga para ahli mencari rumus baru untuk memperbaikinya.

Obat anti skizofrenia generasi baru dibuat untuk menghilangkan gejala positif dan negatif di atas, disamping efek sampingnya dibikin sekecil mungkin, bahkan kalau bisa tanpa efek samping.

Obat anti psikotik generasi baru, misalnya clozapine dan risperidone ( turunan dari benzisoxazole).

Risperidone sudah terdaftar dan beredar di Indonesia dengan indikasi utama bagi pengobatan skizofrenia. Dari penelitian elozapine tidak menunjukan respons yang memuaskan bagi pasien skizofrenia. Selain itu masih ada efek samping yang tidak dikehendaki.

Karena itu kini harapannya tertumpu pada risperidone. Ini karena risperidone mempunyai beberapa kelebihan, antara lain :
  1. Dosis rendah dengan efektivitas terapi dalam waktu relatif singkat
  2. Kecil atau tidak ada efek samping ekstrapiramidal (perkinsonism)
  3. Baik gejala positif maupun gejala negatif skizofrenia cepat hilang
  4. Memperbaiki fungsi kognitif (berpikir)
Pengobatan terhadap skizofrenia tentu saja tidak semata-mata dengan obat sebagaimana diutarakan di muka. Tapi juga disertai terapi lain, misalnya psikoterapi, psikoreligius terapi, terapi kognitif dan upaya-upaya rehabilitasi lainnya.

Sehingga pasien dapat kembali hidup secara wajar, baik itu di rumah, tempat kerja, dan di lingkungan sosial masyarakat.


Kamis, 22 Januari 2009

RASA BERSALAH

Rasa Bersalah Menghinggapi Anda ?
Perlukah Rasa bersalah ?
Kenapa Ada Rasa Bersalah Buatan?
dan Rasa Bersalah Betulan ???


Mahatma Gandhi bukan seorang pastur. Maka ia tidak wajib selibat atau pantang berhubungan seksual. Tapi toh ia memilih tidak berhubungan seksual meskipun istrinya cantik, bertubuh indah dan sangat mencintainya.

Kenapa? Tak lain karena negarawan religius ini memiliki rasa bersalah teramat mendalam terhadap ayahnya.

Gandhi tak bisa memaafkan dirinya sendiri, setelah menyadari bahwa pada saat ayahnya menghembuskan napas terakhir ia justru tengah berasyik-masyuk dengan istrinya. Maka sejak saat itu ia meminta persetujuan dari istrinya untuk tidak lagi berhubungan intim.

Padahal mereka masih muda pada saat itu. Lagipula sesungguhnya bukan salah Gandhi maupun istrinya bila sang waktu memilih hari kematian ayahnya pada saat itu.

Tapi begitulah Gandhi, yang memilih "berlaku kejam" terhadap diri sendiri (dan istrinya) demi menebus rasa bersalahnya.

Sesuatu tindakan yang mungkin terasa sangat tidak masuk akal bagi kebanyakan orang. Bahkan ini nampak sebagai reaksi tidak normal terhadap sebuah peristiwa yang sama sekali di luar jangkauan kuasanya.

Bagaimana seseorang menebus rasa bersalahnya?

tergantung pada pribadi orang bersangkutan yang satu sama lain tentu saja berbeda. Antara lain kepekaan, cara dan ukuran khas dari orang bersangkutan dalam menghadapi rasa bersalah.


Rasa bersalah biasanya muncul ketika orang sampai pada pengertian atau kesadaran tentang baik dan buruk yang sangat subyektif, tergantung pada pengalaman religius dan emosional yang bersangkutan.

Kasus Putri Stephanie dari Monaco, misalnya bisa menjadi contoh. Setelah beberapa tahun dicitrakan sebagai putri yang liar dan bengal oleh media massa, tiba-tiba sang putri mengubah citranya, menjadi pendiam dan alim.

Konon, dia merasa sangat bersalah atas kematian ibunya, Putri Grace yang tewas dalam kecelakaan mobil yang dikemudikan olehnya.

"Saya merasa menyesal kenapa Ibu yang meninggal, sedangkan saya yang memegang stir selamat dan hanya cidera ringan", begitu katanya.

Gandhi dan Stephanie punya ukuran sendiri tentang rasa bersalah dan wujud penyesalannya. Dan tentu saja tidak dapat dikatakan wujud penyesalan atau penebusan yang satu lebih hebat ketimbang yang lain. Ukuran itu sangat bersifat subyektif.

Dalam kajian psikologi, rasa bersalah dibagi ke dalam dua kategori :

Pertama, Rasa bersalah yang benar-benar (Real Guilt). Pada setiap orang biasanya melekat kecenderungan untuk berbuat dosa atau melanggar hukum Tuhan.

Tentu saja bentuknya macam-macam. Mulai dari yang oleh kebanyak orang dikategorikan ringan seperti berbohong, sampai yang sangat berat , seperti membunuh.

Perasaan telah berbuat jahat dan telah melakukan tindak kesalahan karena melanggar hukum Tuhan inilah yang biasanya disebut rasa bersalah yang beneran.

Rasa bersalah karena berbuat dosa ini malah dianggap oleh yang bersangkutan sebagai bukti pengingkaran jiwanya terhadap Tuhan.

Akibatnya ia menjadi sangat tertekan. Dan biasanya bila mereka cukup religius, rasa bersalah itu lantas membimbingnya untuk bertobat dan percaya bahwa Tuhan mau mengampuni kesalahannya.

Dalam kasus seperti ini, umumnya penderita bisa mengurangi tekanan oleh rasa bersalah atau bahkan perasaan bersalah itu sirna. Pada sebagian orang, ada kalanya mereka menyadari dirinya telah melakukan kesalahan atau telah melanggar hukum Tuhan. Toh, perbuatan yang disadari salah itu tidak dihentikannya. tak heran kalau kitapun sering mendengar guyon yang menyebut "dosa itu nikmat".

Siapa sih yang mau menyingkirkan kenikmatan? Faktanya, banyak diantara kita yang memilih tetap berada dalam keadaan berdosa. Dan buntutnya banyak orang kemudian menjadi merasa gelisah, tegang, dan merasa bersalah.

Pada banyak pengalaman, terbukti tidak mudah untuk bisa melepaskan diri dari perasaan-perasaan tak enak seperti itu. Bisa jadi seseorang mungkin selama bertahun-tahun telah berusaha menenangkan diri, tidak mau menghadapi kenyataan atau berusaha mengingkari dirinya tengah berada dalam dosa.

Bahkan mungkin banyak yang kemudian menghabiskan waktunya dengan melakukan berbagai aktivitas, tapi masih saja ingatan pada dosa atau kesalahan yang dilakukan itu tak bisa dilepaskannya.

Para penjahat ulung atau pada orang yang punya kepribadian sosiopatik sekalipun, seringkali mereka juga teringat pada kesalahan yang telah dilakukan.

Maka merekapun membutuhkan pengampunan. Pada orang-orang religius, yang percaya Tuhan selalu membimbing langkah mereka, rasa bersalah, gelisah maupun ketegangan bisa menjadi bagian dari hidup mereka. Sebab, mereka juga kadang merasa bahwa sikap dan perbuatannya tidak menyenangkan hati Tuhan. Dan segala kegelisahan itu baru hilang setelah mereka yakin Tuhan telah memaafkan.

Kedua, rasa bersalah "bikinan" (pseudo guilt). Dalam fakta, kadang-kadang rasa bersalah atau rasa berdosa yang muncul pada diri seseorang sering bukan merupakan pengalaman spritual malainkan hasil dari situasi emosional semata.

Mungkin saja, seseorang telah menyerahkan hidupnya pada Tuhan, tapi pada saat yang sama dia tetap tidak sanggup menghapuskan rasa bersalahnya.

Maka tak henti-hentinya dia memohon supaya Tuhan mengampuni kesalahannya, karena rasa bersalah ataupun perasaan bahwa dirinya jahat atau kotor tidak juga lenyap dari dirinya.

Dalam pandangan psikologi, reaksi psikologis semacam itu dianggap sebagai reaksi tidak normal yang dibawa oleh situasi lingkungannya. Biasanya pengalaman pada masa kanak-kanak.

Salah satu yang sering menjadi rasa bersalah "bikinan" ini adalah perilaku orang tua yang selalu mengutuk, menyalahkan dan menuduh.

Banyak anak sebenarnya merasa tidak sedikitpun melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap hukum Tuhan, tapi mereka sering mendapatkan penolakan.

Orang tua, guru dan orang dewasa lain seringkali tanpa disadari telah melontarkan ucapan-ucapan atau reaksi penolakan lain yang menyebabkan anak merasa dirinya tak berguna.

Karena itu, sangat menyedihkan bila anak tumbuh dalam lingkungan yang menyebabkan timbul perasaan tidak aman dan tidak terlindungi.

Akibatnya yang biasanya muncul adalah rasa frustasi dan konflik di dalam diri anak, dalam masa yang sangat lama.

Mereka akan menyalahkan diri sendiri atas segala macam penolakan itu dan mulai menciptakan rasa berdosa dan depresi yang serius.

Penting tidak penting, memiliki rasa bersalah bisa menjadi salah satu upaya seseorang untuk meningkatkan kualitas kepribadian.

Gandhi, misalnya menyebut sebagai "cobaan saya dalam kehidupan". Yang tidak diharapkan tentu saja jika perasaan bersalah itu berakibat negatif. Artinya bukan untuk meningkatkan diri, tetapi malah depresi atau sakit.

Semoga setelah membaca tulisan ini, pembaca dapat mengambil hikmahnya agar rasa bersalah yang ada dapat dikelola menjadi hal yang positif untuk pengembangan kepribadian dan pengendalian emosional guna lebih mendekatkan diri dari sisi spiritual.