Sabtu, 07 Februari 2009

MEMAHAMI KONFLIK

Konflik bukan untuk dihindari . . .
Benar, konflik menyita waktu dan energi . . .
Tapi . . . hadapi saja laah . . .

Salah satu aspek kehidupan yang menarik untuk dibahas adalah tingkah laku konflik. Suatu kenyataan bahwa dalam berhubungan dengan orang lain, bahkan dengan orang terdekat pun bisa saja terjadi konflik. Baik dalam kadar sangat ringan sampai yang berat.

Sisi negatif konflik yang terjadi adalah mengganggu keseimbangan hubungan yang telah terjalin dengan baik. Bahkan sering-sering terjadi destruktif, terutama bila penangananya kurang baik.

Misalnya hubungan suami-istri yang sudah sekian puluh tahun bisa menjadi retak dan diakhiri dengan perceraian yang tentu saja berdampak kurang menguntungkan bagi perkembangan anak.

Bila konflik terjadi antar pimpinan perusahaan maupun atasan-bawahan akibatnya akan lain lagi. Mungkin saja produktivitas perusahaan akan menurun. Orang yang terlibat konflik tidak lagi berkonsentrasi pada kerja. Praktis waktu dan energi tersita untuk memenangkan konflik tersebut.

Di samping itu ada akibat lain yakni kepuasan kerja merosot, timbul sikap apatis dan sifat menarik diri yang disebabkan oleh perasaan tertekan, rasa cemas dan frustasi.

Hal ini menjadi ruyam karena adanya pandangan tradisional, demi untuk tidak merusak hubungan yang ada maka hal-hal yang akan menyebabkan konflik selalu dihindari. Akibatnya semua persoalan bukannya terselesaikan melainkan diambangkan saja. Tentu saja hal ini kurang menguntungkan bagi pencapaian tujuan perusahaan atau organisasi.

Misalnya demi menghindari konflik dengan atasan maka ketentuan atasan diikuti saja, walaupun ketentuan itu sama sekali tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Contoh lain bila ada seorang bawahan yang jelas-jelas melanggar disiplin perusahaan, tidak ditindak karena takut terjadi konflik. Menghindari konflik juga ternyata bisa berdampak rusaknya semangat dan disiplin kerja perusahaan.

Konflik bukan untuk dihindari, justru harus dihadapi. Yang menjadi masalah adalah bagaimana menyelesaikan konflik agar tidak berdampak destruktif, melainkan konstruktif.

Konflik yang baik adalah jika hubungan yang terjalin itu bisa meningkatkan pemahaman masing-masing pihak, saling lebih mempercayai sehingga terjadi kedekatan, keintiman, saling bisa menyesuaikan diri, menerima masing-masing pihak, meningkatkan rasa respek dan mengembangkan kerja sama yang serasi dalam mencapai tujuan bersama.

Istilah orang tua baheula, "perselisihan suami-istri adalah bumbunya suatu perkawinan".
Bila perselisihan itu dapat terselesaikan secara konstruktif maka hubungan suami-istri pun akan semakin mesra.

Agar kita lebih trampil menyelesaikan suatu konflik maka perlu diketahui jenis-jenis konflik yang kita hadapi, yaitu :
  1. Konflik yang tidak Realistik yang disebabkan prasangka berdasarkan sejarah, tradisi, persaingan yang tidak sehat, kekurangtahuan, sikap permusuhan dan lain-lain. Misalnya konflik antar pimpinan atau atasan-bawahan yang karena rasa kesukuan, pribumi-non pribumi, almamater berbeda, dan lain-lain.
  2. Konflik yang Realistik dan Rasional yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan, kebutuhan, tujuan, minat, sistem nilai yang saling bertentangan.
Pada umumnya konflik yang realistik lebih mudah diselesaikan secara konstruktif, karena masih berada pada taraf penalaran. Sebaliknya konflik yang tidak realistik memerlukan suatu usaha yang cukup besar untuk menyelesaikannya karena berada dalam kehidupan emosional.

Walaupun demikian kalau ada kemauan untuk menyelesaikan suatu konflik pasti ada jalan ke arah pemecahan yang konstrukrif.

Yang perlu diperhatikan dalam memahami konflik adalah :
PENGENDALIAN EMOSI
  • Hal ini perlu dilakukan mengingat dalam konflik perasaan-perasaan negatif yang terlibat dalam diri kita antara lain : marah, tidak percaya orang lain, tidak sabar, ingin menang dan lain-lain. Konflik dan permaslahan tidak akan terselesaikan dengan emosi melainkan dengan rasio. mengendalikan emosi dengan cara memperlakukan orang lain dengan sikap respek, artinya memandang orang lain sederajat dengan kita sehingga menimbulkan keinginan berdialog atas dasar kesamaan hak asasi. Disampig itu melihat setitik aspek kebaikan lawan berkonflik, walaupun pada waktu itu yang terlihat adalah aspek-aspek negatifnya.
  • Mencari titik temu, bukan memperlebar jurang perbedaan.
  • Menghindari tindakan-tindakan yang merendahkan derajat pihak lain, misalnya menyindir, berkata yang menyakitkan hati, memaki, mengungkit-ungkit kejelekan pihak lain pada masa lalu atau menyakiti secara fisik.
  • Berusaha agar masing-masing pihak tidak kehilangan muka (tidak saling mempermalukan).
PEMECAHAN MASALAH YANG MENJADI SUMBER KONFLIK
  • Mendengar aktif, artinya berusaha memahami pikiran, perasaan dan maksud-maksud pihak lain serta pandangan-pandangannya tentang suatu hal.
  • Mengemukakan pendapat sendiri pada pihak lain agar ia memahami maksud-maksud, pikiran dan pandangan kita tentang hal yang disengketakan. Usahakan berbicara sejelas-jelasnya, tidak bertele-tele, langsung pada sasaran. Berbicaralah dengan muka yang ceria, tersenyum dan kata-kata yang menyentuh kalbu.
  • Menyamakan persepsi dan mendefinisikan masalah atau kebutuhan secara konkrit dan operasional.
  • Curah pendapat untuk mencari kemungkinan pemecahan permasalahan.
  • Memilih kemungkinan pemecahan permasalahan terbaik yang dapat memuaskan kedua belah pihak.
  • Perencanaan ke depan.
  • Penerapan keputusan bersama dan tindak lanjut.
Pada situasi tertentu bisa saja konflik tidak dapat terselesaikan, dalam situasi yang demikian maka dianjurkan untuk melibatkan pihak ketiga yang anda anggap kompeten ( orang yang betul-betul dapat menjembatani permasalahan anda, bukannya orang yang menambah buruk masalah).

Jadi, konflik bukan untuk dihindari bukan ??


Tidak ada komentar: