Jumat, 12 Desember 2008

KESEHATAN MENTAL

Kebutuhan-kebutuhan, hasrat-hasrat psikis dan motif-motif memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena secara konstan berpengaruh dalam persepsi, berfikir, berperasaan dan bertindak.

Biarpun bentuk kebutuhan, hasrat dan motif dapat bersifat sangat individual, namun akhirnya diabadikan pada tujuan dasar untuk mempertahankan kehidupan dan memperkembangkan segala potensi yang ada.

kebutuhan-kebutuhan bersifat umum dan biasanya mengambil wujud kongkret pada masing-masing individu dan pada masing-masing kelompok orang.

Misalnya kebutuhan akan harga diri pada A terwujud dalam kebutuhan untuk memperoleh pendidikan yang setinggi mungkin, pada B terwujud dalam kebututhan untuk mengumpulkan harta benda sebanyak mungkin, pada C terwujud dalam kebutuhan untuk mencapai status sosial yang tinggi di masyarakat.

Variasi ini bersumber pada sejarah perkembangan seseorang, pada pengaruh lingkungan sosial dan nilai-nilai (value) yang menjadi pegangan hidup seseorang. Dalam usaha memenuhi suatu kebutuhan nyata kerap muncul aneka kesulitan dan tantangan yang menimbulkan tuntutan untuk menyesuaikan diri (adjustive demand).

Tuntutan penyesuaian diri biasanya disertai ketegangan batin (strain, tension), semakin berat tuntutan penyesuaian diri semakin tinggi ketegangan batin yang dialami yang disebut stres. Kesulitan dan tantangan itu dapat berupa suatu rintangan, seperti terjadi bila orang menghadapi frustasi atau mengalami konflik, dapat pula berupa suatu tekanan seperti terjadi bila orang merasa dirinya seolah-olah dikejar-kejar untuk mencapai seuatu. Tuntutan-tuntutan penyesuaian diri lazimnya dibagi atas :

1. FRUSTASI
Timbul rintangan dalam usaha memenuhi suatu kebutuhan yang dihayati, karena usaha dihalang-halangi atau karena tidak tersedia obyek yang dapat memenuhi kebutuhan. Misalnya; ketidakadilan dalam kehidupan sosial, krisis ekonomi, kerusuhan, perang, bencana alam, pelecehan seksual, perlakuan yang tidak wajar di tempat kerja, cacat jasmani, penyakit berat, kegagalan karena salahnya sendiri, kekerasan dalam rumah tangga, dll.

2. KONFLIK BATIN
Orang merasa seperti terombang-ambingkan karena dihadapkan pada dua kebutuhan, dua hasrat psikis atau dua motif yang tidak dapat dipenuhi atau dipuaskan kedua-duanya. Konflik batin mengandung unsur frustasi karena orang menghadapi dua pilihan atau dilema.

3. TEKANAN (PRESSURE)
Orang merasa dirinya dibebani dan seolah-olah dikejar untuk mencapai sesuatu atau berprilaku tertentu. Misalnya bila seorang mahasiswa belajar siang malam untuk lulus dalam ujian atau prajurit di akademi militer harus menyesuaikan diri dengan disiplin yang sangat ketat. Tekanan dapat berasal dari subyek sendiri, seperti tuntutan mutlak terhadap dirinya sendiri untuk mencapai sesuatu dalam waktu singkat, dapat pula berasal dari sumber di luar subyek seperti tuntutan dari atasan untuk bekerja tanpa membuat kesalahan sedikitpun juga. Tekanan demikian memaksa orang untuk bekerja lebih keras, lebih cepat dan berusaha secara lebih intensif sehingga menimbulkan ketegangan yang sering menjadi beban tersendiri.

Ketegangan yang bertaraf tinggi kerap mempengaruhi alam perasaan menjadi peka dan menggejala dalam bentuk kecemasan, gelisah, sedih, rasa tak berdaya, bimbang, rendah diri dan kecenderungan untuk marah-marah.

Kerap pula berpengaruh terhadap alam pikiran dan menggejala dalam pikiran yang bercabang-cabang, kesulitan untuk berkonsentrasi, kesukaran dalam mengambil keputusan.

Dapat berpengaruh pula terhadap kesehatan jasmani dan menggejala dalam bermacam-macam gangguan kesehatan seperti pusing kepala, banyak berkeringat dingin, sesak nafas, insomnia (kesukaran tidur), nafsu makan berkurang, rasa gatal di kulit, jerawatan, impotensi, gangguan pencernaan, dan sebagainya (gejala-gejala psikosomatis).

Banyak orang berkonsultasi dengan dokter umum sebenarnya tidak menderita kelainan jasmani tetapi menjadi korban dari ketegangan (strait, tention) yang sudah bertahan lama.


Selasa, 09 Desember 2008

Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Dalam Pendidikan Islam

Para sejarahwan berpendapat bahwa puncak sejarah peradaban Islam berada pada lima abad pertama sejak munculnya Islam.

Setelah abad itu tampak adanya kemunduran peradaban (culturel decline), yakni sewaktu fenomena dikotomi Islamic knowledge dan non Islamic knowledge mulai menghinggapi umat Islam.

Misalnya Madrasah Nizam al-Mulk yang hanya mengkhususkan diri pada pengembangan ilmu-ilmu agama di awal abad ke-12 dapat dilihat sebagai kemajuan di bidang pendidikan agama, tetapi di lain pihak dapat juga dilihat sebagai kemunduran peradaban Islam karena non-Islamic knowledge sudah tidak menjadi perhatian lagi dalam dunia pendidikan Islam.

Dari peristiwa tersebut, sampai saat ini masih ada public image bahwa Islamic learning identik dengan kejumudan, kemandekan dan kemunduran. Kesan ini didasarkan pada kenyataan bahwa dewasa ini mayoritas umat Islam hidup di negara-negara dunia ke tiga dalam keterbelakangan ekonomi dan pendidikan.

Lebih tragis lagi adalah karena berkembangnya cara berfikir serba dikotomis, membedakan Islamic knowledge dan n0n Islamic knowledge.

Pendidikan Islam masih membedakan antara ulumuddin dan ulumuddunya, sehingga belum layak disebut sebagai pendidikan Islam yang kaffah atau komprehensif.

Dikalangan umat Islam telah terjadi pemilahan antara ilmu agama dan ilmu umum dengan memandang yang satu lebih supreme dari pada yang lain. Ilmu-ilmu agama yang dikaji adalah ilmu-ilmu yang secara konvensional oleh kalangan umat Islam dipandang sebagai ilmu dasar.

Misalnya, Al-Qur'an, hadis, fiqih dan tauhid yang dipandang lebih utama dibandingkan ilmu-ilmu yang dipandang sekunder, seperti sains, teknologi, dan lain-lain.

Kualitas pendidikan Islam akan terkait dengan kualitas mutu lulusan. Meningkatkan kualitas mutu lulusan harus dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini.

Jika pendidikan Islam tidak disesuaikan dengan tuntutan kekinian, tanpa disadari akan menjadi pendidikan Islam yang eksklusif dan tertutup. Kondisi ini akan sangat sulit memfungsikan sebagai pendidikan yang bisa mengandalkan kualitas mutu lulusannya.

Berbagai masalah dalam pendidikan Islam, jika dikaitkan dengan agenda umat Islam memasuki milenium III, akan berpuncak pada masalah besar, yakni sumber daya manusia (SDM). Sumber daya manusia kita jelas tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Hal ini terlihat dari banyak sektor, kita masih banyak mengimport tenaga ahli dari Barat dan negara tetangga sebagai konsultan pendidikan, penelitian, dan lain sebagainya. Pada tahun 1990, jumlah mahasiswa Indonesia yang kuliah di Amerika Serikat kurang dari 9000 orang, padahal Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 157 juta jiwa.

Sementara Malaysia yang merupakan negara mungil mengirimkan mahasiswa lebih dari 18.ooo mahasiswa. Memang tidak berarti bahwa produk Barat itu semuanya baik, tetapi statistik ini mengisyaratkan bahwa pemerintahan kita belum serius memikirkan pengembangan sumber daya manusia.

Inilah penyebab utama kelemahan sumber daya manusia kita. Singkatnya Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim belum siap memasuki era globalisasi dan milenium III.

Kompetensi iman beragama amatlah penting karena tanpa dibingkai oleh iman beragama maka kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi akan menjadi kurang bermakna bahkan dikhawatirkan akan liar dan tidak terkendali yang terwujud dalam bentuk terjadinya erosi nilai-nilai moral.

Disisi lain kompetensi iman beragama tanpa disertai oleh kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi berakibat akan lemah dan tidak berdaya, tertinggal oleh zamannya.

Sebagai komponen mayoritas bangsa, umat Islam dituntut untuk memiliki kedua kompetensi tersebut secara seimbang, yaitu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis iman dan taqwa.


Kelemahan dalam komponen ilmu pengetahuan dan teknologi akan mempunyai dampak yang kurang menguntungkan bagi masa depan umat Islam dalam kiprah pembangunannya.

Kelemahan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dapat mengakibatkan umat Islam ketinggalan dalam irama pengembangan sumber daya manusia yang sangat cepat, bahkan dapat menjadi obyek bukannya subyek dalam pembangunan.

Lebih kritis lagi akibatnya umat Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia hanya bisa menjadi penonton dari apa yang terjadi disekelilingnya dan sebagai reaksi dapat muncul sikap "melarikan diri" dari kenyataan dalam bentuk tindakan menyalahkan pembangunan sebagai kompensasi dari kelemahannya.

Akibat lanjutnya umat Islam yang harusnya tampil percaaya diri dapat dihinggapi rasa rendah diri karena posisinya yang lemah.

Pendidikan Islam tentu harus mengacu pada ajaran dasar Islam itu sendiri yang tidak membedakan antara dunia dan akhirat "Addunya limazra 'atil akhirat" yang artinya dunia adalah ladang penanaman untuk persiapan akhirat, siapa yang menanan maka akan memetik hasilnya, adalah ajaran yang populer dalam pendidikan Islam.

Tantangan di era globalisasi dan informasi bagaimanapun menuntut respon yang tepat dari sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Kesadaran awal kearah itu sudah mulai berkembang pada kalangan pemikir dan penanggung jawab pendidikan Islam di Indonesia.

Dr.H.Tarmizi Taher, ketika menjabat mentri agama, misalnya telah dan sedang memasyarakatkan gagasan tentang pengembangan IAIN-Jakarta, Malang dan Yogyakarta sebagai pilot projek menjadi "Universitas Islam Negeri (UIN)", yang tidak lagi terbatas pada fakultas-fakultas agama saja tetapi juga fakultas-fakultas umum.

Sementara gagasan ini tengah digodok para ahli yang dikoordinasikan Departemen Agama. Sepatutnyalah kita berharap agar fakultas-fakultas "non agama" yang akan didirikan itu mencakup fakultas yang berkenaan dengan sains dan teknologi.

Membahas teknologi yang merupakan aplikasi dari sains untuk kepentingan umat manusia, Islam sejak semula secara historis dan konseptual terbukti sangat menyokong perkembangan teknologi yang berkepentingan dengan umat manusia dan lingkungannya.

Al-Qur'an menjungjung tinggi peningkatan sains dan teknologi tetapi sekaligus juga mengingatkan akan efek sampingnya apabila ditangani secara tidak bertanggungjawab.

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagai akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar". (Rum;41)

Proses globalisasi dengan percepatan menggelindingnya liberalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global menghadapan dunia pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak sederhana.

Ada beberapa pertanyaan mendasar dan tantangan-tantangan yang muncul sehubungan dengan perubahan besar yang terjadi saat ini. Mampukah dunia pendidikan menyiapkan sumber daya manusia yang unggul, yang mampu bersaing secara internasional dan sekaligus siap membangun kerjasama antar bangsa?

Bisakah lembaga pendidikan memperkokoh kepribadian dan budaya nasional di tengah arus globalisasi? Dapatkah para pendidik menanamkan nilai-nilai yang berorientasi pada perdamaian di tengah kekerasan yang terus berlangsung di pentas dunia?

Tampaknya wawasan global dalam dunia pendidikan Islam sudah saatnya dikembangkan di Indonesia yang diharapkan mampu mempersiapkan generasi muda untuk masa depan mereka yang lebih baik, mengembangkan wawasan dan sikap hidup yang lebih memadai dengan peran dan tanggungjawab sebagai warga negara Indonesia dan warga dunia, meningkatkan kualitas kerukunan antar umat beragama serta memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa, meningkatkan amal, dan bersama-sama membangun sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis iman beragama.