Senin, 02 Februari 2009

SADISME

Ucapan ini hampir setiap kali terlontar jika kita menemukan hal-hal yang kita anggap kelewatan.

Apakah yang disebut sadisme?

Para orang tua ternyata punya peran besar dalam membentuk watak sadis pada diri anak.

Apakah seseorang yang memiliki temperamen tinggi, berbicara kasar atau bertampang keras selalu indentik dengan orang berwatak sadis?

Dalam kenyataan, sering kali seorang yang oleh orang-orang dekatnya dikenal sangat halus, murah hati, penuh perhatian, murah senyum, bahkan sangat dermawan malah sering-sering dianggap berwatak sadis.

Sebagai contoh, beberapa bulan lalu terjadi kasus pembunuhan oleh Ryan di Jombang-Jawa Timur, lebih dari sepuluh korban setelah diusut ternyata pelakunya adalah seorang guru ngaji yang alim dan lemah lembut cenderung feminim. Ketika hal itu terungkap, banyak tetangga, dan keluarganya bersikap tidak percaya. Tapi itulah yang terjadi.

Contoh yang sangat klasik (tapi kasus sadisme seberat ini memang jarang walau di dunia modern ini masih tetap terjadi) adalah Heinrich Himmler (kepala dinas rahasia Nazi, SS) yang bersama-sama Hitler bertanggung jawab terhadap matinya sekitar 15-20 juta warga Rusia, Polandia dan Yahudi yang tak bersalah.

Oleh lingkungan dekatnya Himmler pun semula dikenal sebagai orang yang sangat baik dan penuh perhatian. Pernah pada suatu hari karena merasa iba terhadap istri bawahannya karena suaminya di rumah sakit, Himmler mengirim mobilnya agar istri bawahannya itu tidak repot mondar-mandir ke rumah sakit.

Himmler memang pandai menenangkan hati orang yang gelisah, sehingga orang-orangpun percaya kepadanya. Tapi tanpa disangka, bawahannya itu tewas atas perintah Himmler juga.

Siapa yang tidak terkecoh dengan penampilan Himmler? Yang baik disangka sadis dan yang sebenarnya sadis disangka baik hati.

Dalam pandangan pakar perilaku, sadisme adalah hasrat seseorang untuk mengontrol, menyakiti dan mempermalukan orang lain. Intensitas dari hasrat untuk berlaku sadis ini ada kalanya berdampak pada impuls-impuls seksualnya.

Ini tidak berbeda dengan kenyataan bahwa beberapa tindakan nonseksual seperti memperlihatkan kekuasaan, kekuatan ataupun narsisme (tindakan yang memperlihatkan kecintaan yang sangat besar terhadap diri sendiri) dapat merangsang hasrat seksual.

Beberapa ahli yang seide dengan Sigmund Freud menyebutkan bahwa tindakan sadis merupakan dorongan yang muncul karena hasrat seksual seseorang. Tak jarang, sadisme juga adakalanya menjadi salah satu jalan keluar dari keinginan seseorang untuk "lahir" kembali sebagai manusia baru.

Eric Fromm bahkan menyebut sadisme sebagai transformasi dari ketidakuasaan (inpotence) ke dalam pengalaman yang mahakuasa (omnipotence).

Sadisme menurut Fromm, adalah karakter yang tidak mudah dimengerti, kecuali jika dilihat struktur karakter seseorang secara keseluruhan. Sebagai gambaran, Himmler yang kita singgung di atas seorang anak yang dibesarkan oleh Ibu yang dominan dan otoriter serta ayah berwatak lemah (dibandingkan ibunya).

Keadaan ini umumnya memang mendorong terciptanya watak sadis pada anak. Namun demikian, beberapa orang yang memiliki orang tua demikian toh tidak menjadi seorang yang sadis seperti Himmler.

Tapi secara umum, orang berwatak sadis cenderung ingin mengontrol orang lain dan menjadi sesuatu yang memiliki obyek untuk dikontrol. Orang semacam ini ingin menjadi "tuan" dalam hidup dan nilai hidupnya memang ditentukan oleh korban yang dijatuhkannya.

Ciri lain dari watak sadis, ia hanya terangsang oleh keadaan atau orang yang lemah dan tidak pernah oleh yang kuat. Sebab bagi seorang yang berwatak sadis berhadapan dengan yang kuat tidak pernah menghasilkan kekuatan yang imbang.

Lebih-lebih karena yang diinginkannya memang mengontrol orang lain yang lemah, yang tidak sanggup untuk melawannya. Sebab itu bagi seorang yang sadis ada satu hal yang sangat penting dalam hidupnya yaitu kekuasaan.

Yang dimaksud kekuasaan adalah kekuasaan terhadap sesuatu maupun kekuasaan untuk menjadi sesuatu. Beberapa ahli menyebutkan, seorang yang sadis biasanya takut terhadap segala sesuatu yang tidak pasti dan tidak dapat diperkirakan. Tak lain karena ia khawatir menghadapi reaksi yang spontan dan tiba-tiba yang tidak dapat dikuasai atau dikontrolnya.

Dengan alasan ini pula, maka mereka ada kalanya menjadi takut terhadap hidup itu sendiri, termasuk dengan cinta. Akibatnya masuk akal jika orang yang berwatak sadis hanya bisa terlibat dalam cinta dan menyukai hidup apabila ia dapat mengontrolnya.

Faktor lain adalah sifat yang submisif (tunduk, patuh) dan pengecut, ini memang tampak kontradiktif bahwa seorang yang sadis adalah orang yang submisif. Tapi begitulah kenyataannya.

Seseorang menjadi sadis karena ia lemah, tidak berkuasa dan diabaikan. Untuk itu ia berusaha mengkompensasikan kekurangan ini dengan memiliki kekuasaan atas orang lain dan dapat melakukan apa saja yang ia inginkan.

Bila ini dikaitkan dengan orang-orang yang terlibat dalam politik, karakter yang melekat pada orang semacam ini adalah tipe otoritarian. Cirinya menekan ke bawah tapi tunduk dan patuh pada atasan.

Kenyataannya, mengapa seseorang sampai memiliki watak sadis?

Ini bukan semata-mata faktor individual tapi merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sejak dari keluarga, lingkungan pergaulan maupun sistem sosial suatu masyarakat.

Faktor individual yang mendorong seseorang memiliki watak sadis adalah perasaan sepi, kosong, tidak dihargai dan tidak memiliki kuasa yang dirasakan di waktu anak-anak.

Tapi seorang anak yang tidak memiliki watak sadis dapat saja berubah menjadi sadis di masa remajanya atau ketika dewasa jika dalam perkembangan selanjutnya ada keadaan yang membuatnya merasa sepi, kosong, tidak bahagia dan tidak berarti.

Ada kalanya perasaan ini juga tumbuh kerena kondisi tubuh yang lemah ataupun cacat. Tapi tidak selalu berarti bahwa seorang yang bertubuh lemah atau cacat dapat menjadi orang yang sadis. Juga tidak selalu berarti orang yang tidak memiliki kekuasaan dengan sendirinya akan menjadi sadis. Seperti halnya kasus Himmler, hal ini harus dilihat secara keseluruhan struktur wataknya.

Repotnya seseorang yang besar dalam lingkungan tergolong sadis, perilaku itu tidak akan berubah begitu saja jika ia berada di lingkungan yang tidak sadis. Kalaupun ia tidak menampakan wataknya yang sadis, itu hanya sementara waktu.

Tapi jika ada keadaan yang memancingnya, bukan mustahil ia akan berlaku sadis. Karena itu, memang lebih baik mencegah dan berhati-hati dalam membentuk watak ketimbang sudah terlanjur dan sukar diperbaiki.

Para orang tua yang memiliki anak harus menyadari, jika mereka berlaku kejam, tidak menghargai, atau mengabaikan anaknya, ini saja sudah merupakan bibit yang bisa melahirkan anak yang berbakat sadistis.

Waspadalah... waspadalah...



Tidak ada komentar: