Kamis, 05 Februari 2009

I N C E S T

Diam-diam banyak kasus incest terjadi di tengah keluarga.
Apakah yang disebut incest?
Benarkah umumnya melibatkan hubungan antara ayah dan anak gadisnya?

Ada yang menggugah Penulis untuk membahas kasus ini dari sisi Psikologi setelah membaca berita di surat Kabar Radar Cirebon hari ini tentang ayah kandung hamili anaknya.

Toy (68), warga kec.Mandirancan Kab.Kuningan, tega menggagahi anaknya sendiri, sebut saja Melati (16) siswi sebuah SMA di Cilimus. Akibat perbuatannya, sang anak kini hamil satu bulan.

Tersangka mengaku tidak bisa membendung hasrat seksualnya karena istrinya bekerja di Arab Saudi. "saya mengaku khilaf.." kata tersangka.
Memprihatinkan memang ...

Ada kasus lain, AS (14) gadis Surabaya ini menurut pemberitaan media massa telah kenyang pengalaman seksual. Pria yang menggaulinya tidak tanggung-tanggung, yaitu ayah dan kakak kandungnya sendiri.

Tiga tahun kemudian ia mengganggap perlu mengadukan ayah dan kakaknya kepada Hansip kampungnya. "Saya hanya ingin bebas dari mereka. Tapi maksud saya tidak usah sampai ke pengadilan", ujar gadis tersebut menyesal.

Sekejam-kejamnya harimau tidak akan memakan anaknya sendiri, pepatah itu mungkin tidak berlaku bagi Ii (40) warga Keluh, Tologo ternate-Maluku Utara. Ia tega mengauli anak gadisnya sendiri, sebut saja Mawar (16). Terlebih-lebih ia kerap menggauli Mawar selama tiga tahun terakhir hingga mengandung . . . Asttagaa . . .

Kasus hubungan selingkuh antara hubungan sedarah semacam ini lazim disebut incest. Meskipun kasus ini banyak terjadi di sekitar kita, baik yang terungkap ke permukaan maupun yang tetap tersimpan menjadi rahasia, incest dianggap oleh peradaban manusia umumnya (tidak oleh sekelompok masyarakat tertentu) sebagai penyimpangan perilaku seksual.

Masyarakat tradisional secara sederhana menyebutkan sebagai tabu, karena mereka tidak dapat menjelaskan alasannya secara ilmiah. Sedangkan masyarakat modern menolaknya dengan alasan genetik tidak sehat, disamping tentu saja karena alasan moral dan etik.

Menurut para ahli, incest juga umumnya menjadi problem bagi laki-laki dan bukan problem wanita. Meskipun juga ada ibu kandung yang berhubungan seksual dengan anak lelakinya, tapi kebanyakan incest melibatkan ayah-anak, kakak-adik, kakek-cucu, ataupun paman-keponakan.

Namun yang banyak menjadi obyek hukum dan media massa menurut berbagai pengalaman di berbagai negara termasuk Indonesia adalah hubungan ayah-anak.

Menurut DR. Jack G. Weir, seorang Psikolog, dalam kasus yang banyak orang dianggap perilaku jahanan itu, pertanyaan yang layak muncul bukan "manusia macam apa?" atau "ayah macam apa?" yang sanggup berbuat begitu.

Bagi DR. Weir, persoalan yang lebih penting adalah, "lingkungan keluarga macam apa yang bisa mendorong seorang ayah berbuat nekat itu?".

Menurut pengalaman klinis DR.Weir, ayah pelaku incest biasanya lemah atau khilaf secara seksual sementara kehidupan perkawinan juga kacau balau. Ada juga yang melihat sejumlah faktor lain yang turut mendorong terjadinya hubungan seksual tidak lazim itu, antara lain :

Pengaruh kecanduan alkohol, emosi tidak stabil, kesulitan ekonomi, istri yang lama absen dari rumah (bagi istri yang lama absen dari kehidupan seksual suami), rumah yang terlalu sempit sehingga kurang privacy, juga termasuk kebiasaan semi-nudis di rumah.

Selain itu ada juga yang menyebut faktor terlalu lamanya ayah dan anak gadisnya terpisah serta terisolasinya sebuah keluarga secara geografis.

Kalaupun rumah yang terlalu sempit menjadi faktor pemicu, toh tidak berarti incest hanya terjadi di kalangan ekonomi lemah saja seperti contoh di atas. Sebab incest ternyata terjadi disemua lapisan masyarakat dan yang terbanyak perselingkuhan seksual antara kakak dan adik.

Jika kasus ini terkesan hanya terjadi di lapisan bawah, itu mungkin karena keluarga lapisan atas lebih bisa menyimpan peristiwa memalukan itu sebagai rahasia keluarga. Sebab dari berbagai tulisan diketahui, banyak istri yang sebenarnya tahu apa yang terjadi pada suami dan anak gadisnya tapi lebih memilih diam demi menjaga keutuhan dan martabat keluarga.

Ada juga yang tidak ingin suaminya masuk penjara, tapi ada juga yang kemudian ia ikut ambil bagian dalam kesalahan itu karena sering menolak ajakan berhubungan intim atau lama absen dari kehidupan suami.

Disisi lain juga banyak anak yang tidak berani menceritakan pengalaman buruknya, justru karena yang melakukan adalah anggota keluarganya sendiri.

Dalam incest juga dikenal beberapa kategori. Menurut Biaggio dan Swanson, jenis pertama disebut pedophilic incest : terjadi pada seorang ayah yang tidak matang psikoseksualnya dan kesulitan seksual, yang untuk memenuhi fungsi seksualnya memilih berhubungan dengan anak perempuan atau laki-lakinya, atau anak orang lain.

Jenis kedua disebut Psychopathic incest : terjadi pada seorang ayah yang menderita psikopat (sakit jiwa) yang menganggap kebanyakan orang (termasuk anaknya) sebagai obyek. Karenanya pada ayah jenis ini umumnya tidak atau hampir tidak memperlihatkan rasa bersalah atas perbuatannya dan tidak pula memilih-milih dalam melakukan hubungan intim. Artinya dengan orang di dalam atau di luar rumah baginya sama saja. Perilaku seksualnya konon mendekati perkosaan.

Jenis ketiga disebut family-generated incest : dimana ayah adalah seorang yang pasif dan ibu seorang yang terganggu kepribadiannya. Akibatnya perkawinan hampir tidak berarti apa-apa dan anak menjadi sasaran seksual (biasanya anak perempuan sulung). Si anak praktis menjadi semacam "gundik" bagi ayah dalam arti sesungguhnya.

Melengkapi kategori di atas, Jack G.Weir menyebut kategori lain yaitu mereka yang tidak sanggup membedakan siapa yang layak menjadi pasangan seksualnya, seringkali karena pengaruh alkohol (indiscriminately promiscuous).

Ada kategori lain lagi yang disebut endogamic men, terjadi pada pria yang mengurung diri secara eksklusif untuk keluarganya. Biasanya pria jenis ini kelewat kolot, moralistik dan religius. Sehingga ia tidak ingin anak perempuannya berhubungan atau menjadi milik orang lain, karena ia lebih suka memiliki sendiri anaknya sampai kepada tubuhnya.

Akibat hubungan seksual antar keluarga ini cukup serius bagi si anak, adik, cucu, atau keponakan korban. Bahkan juga anggota keluarga lain yang tidak menjadi korban secara langsung akan malu, marah, menjadi rendah diri, adalah perasaan-perasaan yang biasanya muncul setelah peristiwa yang tak diharapkan itu terjadi.

Bagi si anak yang menjadi korban langsung, peristiwa itu seringkali mendatangkan trauma dan gangguan emosional dalam waktu lama. Yang juga banyak terjadi, mereka kemudian lebih suka mengasingkan diri dari pergaulan terutama dengan lawan jenis.

Ada kalanya mereka juga menjadi takut terhadap hubungan seksual atau bisa jadi sebaliknya. Dalam sebuah studi di Amerika Serikat, tigaperempat pelacur yang diinterviu mengaku kalau mereka pernah menjadi korban hubungan seksual anggota keluarganya.

Apakah perilaku menyimpang ini dapat disembuhkan?

Para konsultan Psikologi sejauh ini dapat membantu pelakunya maupun korban agar dapat kembali menjadi orang yang normal, termasuk menyembuhkan traumatik anak yang menjadi korban.

Sayangi dan cintai anak anda akan tetapi bukan berarti untuk dimiliki dan dinikmati tubuhnya...


Tidak ada komentar: