Rabu, 04 Februari 2009

MEREKA YANG MARAH

Kenapa orang banyak itu gampang terbakar emosinya?
Siapa sebenarnya musuh mereka ?
Inilah fenomena agresivitas di sekitar kita ?

Sangat memprihatinkan membaca surat kabar Radar Cirebon hari ini yang memberitakan insiden pengrusakan dan penganiayaan yang dilakukan oleh massa pendukung pemekaran Provinsi Tapanuli (Protap) terhadap Ketua DPRD Sumut Drs. Azis Angkat, hingga tewas selain juga korban mengidap penyakit jantung.

Ada kisah yang lain, Februari 1992, kota Malang geger. Gara-gara kecewa karena tidak mendapat kendaraan untuk mengangkut suporter ke Surabaya menyaksikan kesebelasan mereka berlaga, para suporter Persema mengamuk. Puluhan mobil Surabaya bernomor polisi L, yang mereka jumpai diluluhlantakan.

Huru-hara akibat bola, bukan pertama kali ini terjadi. beberapa tahun lalu, stadion utama senayan pernah terbakar, juga gara-gara amukan suporter bola.

Di Inggris, kesebelasan Liverpool, bahkan sampai diskors gara-gara suporternya mengamuk dan mengakibatkan jatuhnya korban tewas dalam peristiwa yang dikenal Tragedi Heysel, di Brussel pada tahun 1985.

Agresivitas dahsyat pernah pula terjadi saat grup musik Slank maupun Mick Jagger mengadakan pertunjukan di gelora Senayan beberapa tahun lalu. Dan lagi-lagi puluhan mobil menjadi sasaran pengrusakan penonton.

Sejumlah pengamat menuding, bahwa para pelakunya yang umumnya anak-anak muda itu adalah anak-anak yang kurang mendapat pendidikan, dan berasal dari keluarga berantakan, sehingga kurang mendapat perhatian orang tua dan seterusnya.

Sebagai solusinya, keluarga sebagai kesatuan terdekat harus menanamkan pendidikan dan kasih sayang yang terbaik. Meskipun faktor keluarga mempengaruhi pembentukan watak diri seseorang, tapi agaknya gerakan massa yang cenderung spontan itu tidak demikian mudah dilihat sebagai gejala yang berasal dari ketidakharmonisan kehidupan keluarga belaka.

Ada banyak pra-kondisi kenapa seseorang sampai terlibat dalam gerakan massa yang agresif semacam itu.

Eric Hoffer, seorang filsuf otodidak dari Amerika justru melihat orang-orang yang rentan terhadap gerakan massa (terlepas dari apapun sifat gerakan massa itu : agama, rasial, sosial, nasionalisme, ekonomi, dan lain-lain) adalah mereka yang tidak puas, kecewa, gagal atau frustasi.

Frustasi disini berbeda dari pengertian umum dalam psikologi, yaitu hambatan psikis yang menyumbat dorongan untuk menyalurkan energi, aspirasi dan ambisi secara bebas yang mengakibatkan tekanan emosi.

Hoffer mengartikan frustasi sebagai orang yang kecewa dan tidak puas. Berarti mereka yang merasa hidupnya terlepas dari apapun yang menjadi penyebabnya sudah rusak dan sia-sia.

Menurut Hoffer "mereka yang frustasi ini paling mudah dijumpai pada kalangan miskin, orang tersingkir, kaum minoritas, para remaja, orang yang berambisi, orang yang diperbudak oleh kebiasaan buruk atau godaan tertentu, orang yang lemah baik jiwa atau raga, orang yang terlalu mementingkan diri sendiri, orang yang bosan baik terhadap diri sendiri maupun keadaan lingkungan serta orang yang merasa berdosa".

Termasuk dalam golongan ini adalah orang-orang yang canggung sementara maupun mereka yang canggung abadi. Yang termasuk golongan pertama, yakni mereka yang belum menemukan tempat dalam hidup tapi berharap menemukannya. Misalnya remaja tanggung, lulusan perguruan tinggi yang masih menganggur, bekas tentara (Para pensiunan), pendatang baru dan sebagainya.

Sedangkan yang masuk golongan dua adalah mereka yang karena tidak memiliki bakat atau kerena kelemahan jiwa atau raganya, tidak dapat melakukan sesuatu hal yang sungguh-sungguh diinginkannya.

Perilaku menyerang dan merusak itu sendiri dipandang secara berbeda oleh para ahli. Sigmund Freud misalnya, memandangnya sebagai perilaku yang muncul untuk mengimbangi kekuatan Eros (seks dan hidup).

Sedangkan Lorenz memandangnya sebagai perilaku yang didorong oleh naluri agresi. Dorongan untuk bertindak agresif itu akan muncul jika ada kondisi yang memungkinkannya.

Dari beberapa penyelidikan diketahui, suasana yang hiruk-pikuk mendorong agresivitas atau tindak kekerasan menjadi meningkat. Lebih-lebih dalam suasana lautan massa yang susah dikendalikan, udara yang panas dan berdesakan, semua itu bisa menjadi hambatan untuk mengendalikan emosi.

Eric Fromm berpendapat bahwa manusia massa pada dasarnya adalah manusia yang terisolasi dan kesepian, meskipun mereka menjadi bagian dari suatu kerumunan. Mereka satu sama lain praktis hanya dihubungkan oleh media massa.

Dalam hal tindakan merusak, menyerang bahkan menyakiti diri sendiri atau bunuh diri dapat menjadi pelampiasan yang memberikan kesenangan dan kepuasan, baik ketika berada diantara massa maupun saat sendiri.

Memang hanya manusia (justru bukan binatang, yang melakukan agresi lebih untuk melindungi atau mempertahankan diri) yang bisa menciptakan kerusakan, kekacauan, dengan tujuan mendapatkan kesenangan.

Dan untuk itu manusia dapat dengan sabar menunggu waktu ataupun menciptakan situasi untuk membuat kerusakan atau kekacauan.

Tapi apa sebenarnya yang membuat massa nampak seperti sebuah kesatuan yang kompak dalam melakukan agresi padahal tidak ada pemimpin diantara mereka, tidak ada rencana bertindak, dan tidak ada kata sepakat yang mendahului tindakan mereka?

"Kita perlu memiliki musuh yang berujud dan bukan sekedar musuh yang abstrak", ujar Hitler, seorang agresor yang sulit dicari tandingannya.

Dengan kata lain adanya musuh bersama menjadi pemersatu bagi suatu massa. Untuk massa pendukung suatu kesebelasan, musuh yang bisa menjadi sasaran mereka jelas, yaitu kesebelasan lawan maupun suporter lawan.

Lebih-lebih jika kesebelasan lawan cukup atau lebih tangguh dari yang mereka dukung, maka rasa benci akan menjadi semakin besar sehingga bukan mustahil jika agresi pun semakin keras. Dan di sana tidak ada lagi pikiran jernih yang membedakan mana musuh yang sesungguhnya dan bukan, sehingga pemindahan rasa benci dapat dilakukan terhadap obyek lain yang dianggap sama.

"membenci musuh yang banyak memiliki hal-hal yang baik dalam dirinya lebih mudah dari pada membenci musuh yang tidak memiliki hal yang baik sama sekali dalam dirinya. Sulit bagi kita untuk merasa benci pada orang yang kita anggap rendah" ujar Hoffer.

Selain itu rasa fanatikpun menurt Hoffer akan mudah menyulut kekerasan dan sebaliknya kekerasan juga akan menghasilkan fanatisme. Tapi mana yang lebih dulu mendatangkan yang lain, mungkin sulit dibuktikan seperti antara ayam dan telor.

Yang jelas fanatisme adalah faktor lain yang juga mudah mendorong gerakan agresif merusak.

Faktor lain lagi yang mempermudah orang larut dalam massa yang agresif adalah faktor terpisahnya diri pribadi dengan massa. Ini menyebabkan tidak ada lagi identitas diri dalam massa tersebut atau yang disebut krisis identitas sehingga keterpisahan ini sekaligus berarti terlepasnya rasa tanggungjawab pribadi atas semua tindakan, termasuk efek yang ditimbulkannya.

Tak adanya tanggungjawab ini memungkinkan orang menuju kearah perilaku yang meluap-luap tanpa kendali. Di dalam massa, orang seolah-olah merasa menemukan kebebasan untuk membenci, bertindak semena-mena, menyiksa, menyakiti, bahkan sampai membunuh tanpa perasaan malu dan perasaan bersalah.

Menurut Hoffer, disini pula sebenarnya letak daya tarik suatu gerakan massa. Seolah-olah disana ada hak untuk menodai secara sah, sesuatu yang sangat memikat bagi massa yang merasa tidak dituntut suatu tanggungjawab terhadap siapa pun dan apapun.

Meskipun demikian, agresivitas tidak selalu berbahaya. Ada juga jenis agresivitas yang tidak berbahaya. Misalnya agresi untuk membela diri, dorongan untuk main-main, maupun agresi yang tidak didorong oleh rasa benci.

Tapi penggolongan inipun hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Sebab betulkah agresivitas yang main-main itu tidak berbahaya kalau main-main itu sendiri menghasilkan kekacauan?

Sejumlah pakar mencoba menberi jalan keluar yang jitu. Misalnya, untuk mengatasi massa yang agresif mereka berpendapat bahwa pendekatan yang lembut akan mencegah dan menghentikan mereka.

Tapi sejumlah pakar lain menyangsikannya. Eric Hoffer misalnya, mengakui bahwa kekerasan adakalanya justru lebih ampuh mengatasi perilaku massa yang agresif atau destruktif. Dan kenyataannya itu sering digunakan dalam praktek sehari-hari di banyak negara, meskipun kadang-kadang sampai terasa kelewatan.

Tapi mereka yang marah itu pun memang keterlaluan.. kelewatan memang...




Tidak ada komentar: