Kamis, 22 Januari 2009

P E D O P H I L I A

CINTA TERHADAP ANAK MEMANG WAJAR,
TAPI ADA JUGA YANG TIDAK WAJAR
DAN DIANGGAP MENYIMPANG, KENAPA ?

Cinta kepada anak-anak memang terpuji, tapi jika cinta itu kelewatan, mungkin malah perlu diwaspadai. Siapa tahu, si pemberi cinta itu mengalami penyimpangan perilaku.

Widodo, 38, contohnya. Lelaki bertubuh gempal yang dikenal sebagai guru silat di Majalengka Jawa Barat ini pada suatu hari tak biasanya mendatangi beberapa anak lelaki ingusan dan menawarkan apakah mereka mau menjadi sakti?.

"Kalau mau, kamu bisa menundukan macan, menundukan setan dan akan menjadi kebal". Serentak delapan bocah lelaki kecil itu tertarik. Apalagi syaratnya cukup membaca rapal bertuliskan Arab, gampang kan?.

Maka sejak itu mereka berlatih dengan Widodo sang pendekar silat. Sampai pada suatu malam salah seorang bocah, diajak ketempat sepi, seusai berlatih silat.

"kamu akan saya pasangi susuk kekebalan", kata Widodo. "Syaratnya, kamu nggak boleh ngomong sama siapa-siapa dan nggak boleh dilihat orang".

Maka mulailah pakaian si bocah lelaki itu dilucuti satu demi satu. Setelah bugil, Widodo mengelus-elusnya, menelentangkan, membalik, mengelus-elus lagi. Begitu seterusnya. Terakhir si bocah disuruh terkurap.

"Sekarang, mulai pasang susuk", kata Widodo. "Kamu jangan mengeluh lho, kalau mengeluh bisa jadi macan", kata Widodo lagi. OooW !!

Kisah Widodo yang aneh tapi nyata itu terjadi desember tahun lalu terbongkar, Ia dibekuk polisi. Di depan polisi ia juga mengaku heran, kenapa lebih "suka" terhadap bocah lelaki ??

Ini juga true story tentang Sukardi (bukan nama sebenarnya) pria 41 tahun yang dikenal sangat alim oleh keluarga maupun lingkungan sosialnya, bukan saja karena taat menjalani ritual agama tapi juga karena sejauh ini ia tidak pernah berpacaran atau mengganggu anak gadis orang.

Setiap ada kesempatan malah pemuda ini lebih suka menghabiskan waktu dengan anak-anak kecil. Mulai dari keponakan, tetangga sampai dengan murid-muridnya di sekolah. Pendek kata Sukardi adalah sahabat anak-anak.

Kamar tidur maupun kamar kerjanya bahkan selalu terbuka bagi anak-anak kecil, laki-laki maupun perempuan. Tapi siapa nyana, diam-diam, Sukardi mengidap penyimpangan.

Tanpa sepengetahuan siapapun, ia rupanya sering membujuk beberapa anak lelaki berumur 6-8 tahun untuk bersama-sama dengannya saling memperhatikan dan meraba alat kelamin. Untuk itu, ia menyogok sebatang coklat.

Celakanya sejauh ini kebiasaannya tetap menjadi rahasia anak-anak. Rupanya mereka patuh pada bujukan Om Sukardi agar tidak menceritakan pengalaman itu kepada siapapun. Dan Om Sukardi tetap menjadi Om yang baik di mata orang tua anak-anak itu.

Kasus-kasus seperti itu, belakangan memang tampak menggejala. Inilah contoh kasus pedophilia, yaitu aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak di bawah umur.

Kadang-kadang si anak yang menyediakan diri menjadi pasangan orang dewasa setelah melalui bujukan halus seperti yang dilakukan Om Sukardi di atas.

Tapi yang lebih sering penderita pedophilia memaksa dengan ancaman untuk mendapatkan kesenangan seksual. Pada masyarakat tradisional, kasus-kasus pedophilia seringkali dikaitkan dengan upaya seseorang mencari kesaktian atau kekebalan, seperti kisah Widodo.

Mengenai jenis penyimpangan ini, beberapa literatur memberi informasi yang menarik. Misalnya ternyata pedophilia merupakan penyimpangan seksual yang cenderung berulang.

Sebagian ahli menyebut penderita lebih suka memilih anak-anak yang berusia sepuluh tahun di bawah usianya, kecuali tentu saja jika penderita pedophilia ini sudah berusia paruh baya atau malah lanjut usia.

Dan yang menarik, sangat jarang pedophilia diderita oleh wanita. Adapun antara lain, biasanya adalah orang yang pemalu, konservatif dan sangat moralis serta religius.

Mereka umumnya orang yang tergolong tidak mampu mengembangkan diri sebagai seorang heteroseksual dewasa. Ada perasaan tidak aman dalam peran seksualnya yang menyebabkan yang bersangkutan menjadi kapok untuk menjalin hubungan dengan wanita dewasa. Tak heran, dalam beberapa kasus pedophilia, pelaku punya kecenderungan homoseksual.

Penderita pedophilia yang cenderung homoseksual biasanya memang tidak menikah. Diduga karena itu pula mereka lantas memilih anak-anak yang berusia sekitar 12-14 tahun. Sebaliknya penderita pedophilia yang heteroseksual memilih anak berusia 7-10 tahun.

Pada kasus lain pedophilia muncul karena ketidakmampuan seksualnya. Akibatnya yang bersangkutan menjadi minder atau takut bila ketahuan ketidakmampuan seksualnya jika berhubungan dengan orang dewasa.

Pada kasus ini umumnya penderita mengalami impotensi. Pelaku jenis ini biasanya mengenal baik korbannya dan cenderung lebih suka memandangi dan hanya melakukan rabaan saja pada korbannya, ketimbang berusaha mencapai orgasme.

Kalaupun terjadi ejakulasi, mereka biasanya melanjutkannya dengan masturbasi eksibisionisme-veyeuristik (masturbasi sambil memperlihatkan alat kelaminnya sendiri selain memandangi alat kelamin korbannya).

Dengan memahami faktor-faktor itu, maka kita mudah memahami kenapa mereka pada umumnya cenderung lebih suka menjauhkan diri dari lingkungannya atau tergolong orang yang miskin berhubungan sosial (a-sosial).

Secara lebih singkat Robert G Meyer dan Paul Salmon membedakan beberapa tipe pedophilia.
  • Tipe pertama : adalah mereka yang memiliki perasaan tidak mampu secara seksual, khususnya bila berhadapan dengan wanita dewasa seperti di jelaskan di atas.
  • Tipe ke dua : adalah mereka yang punya perhatian khusus terhadap ukuran alat vitalnya. Umumnya mereka merasa ukuran alat vitalnya tidak normal (biasanya menganggap terlalu kecil) ada juga jenis yang terobsesi dengan ketidak sanggupannya menjaga ereksi dalam tempo cukup lama.
Dengan melakukan hubungan atau membandingkan secara seksual dengan anak-anak di bawah umur, upaya itu dirasa mengurangi kegelisahannya.

Dalam kasus ini menurut kedua pakar tersebut juga terdapat unsur narsistik (cinta diri sendiri berlebihan).

Riset yang dilakukan Becker tahun 1987 terhadap 571 kasus di AS, cukup menarik untuk dikaji. Ternyata anak laki-laki jauh lebih banyak yang menjadi korban ketimbang anak perempuan.

Angkanya juga berbanding tiga, kemudian ternyata anak laki-laki biasanya menjadi korban yang disentuh langsung oleh penderita pedophilia, sedangkan anak perempuan biasanya menjadi korban yang tidak disentuh secara langsung.

Misalnya penderita hanya melakukan voyeurisme atau memandangi saja dan penderita melakukan ekshibionisme atau mempertontonkan alat kelaminnya.

Banyak diantara penderita yang memiliki aneka macam perilaku menyimpang lain, umumnya mereka mengidap phedophilia sejak berusia sekitar 15 tahun.

Yang cukup memprihatinkan, riset yang sama bahwa korban penganiayaan seksual ini umumnya anak-anak yang kehilangan figur ibu sebelum usia 16 tahun.

Mereka kehilangan kelembutan dan model perilaku yang dapat mengajarkan bagaimana agar mereka bisa menghindari atau menolak pendekatan seksual jenis ini.

Anak-anak yang menjadi korban pedophilia bukan saja akan mengalami trauma psikologis tetapi juga mereka bisa tertular penyimpangan perilaku tersebut.

Pertanyaaannya dapatkah penderita pedophilia disembuhkan?

Jawabannya adalah bisa. Untuk itu harus ditemukan apa yang menjadi sumber sehingga seseorang menjadi pedophilia.

Selain itu dalam terapy biasanya penderita juga mendapatkan antiandrogen (penekan hormon) yang membatasi libido seksualnya.

Ada juga terapy yang menggunakan film sebagai psikoterapy. Film tersebut berisi gambaran ulang yang dilakukan oleh penderita pedophilia terhadap anak-anak di bawah umur.

Tujuan terapi jelas, yaitu dengan menyaksikan contoh perilaku seperti mereka sendiri lewat film itu, penderita menjadi syok dan muncul rasa enggan untuk melanjutkan penyimpangannya.

Dari kasus-kasus yang ada, penderita pedophilia heteroseksual ternyata lebih mudah disembuhkan ketimbang pedophilia yang cenderung homoseksual.


Tidak ada komentar: