Selasa, 27 Januari 2009

SADOMASOKHISME

Hari ini penulis membaca berita di surat kabar Radar Cirebon rubrik Insiden 24 jam tentang seorang istri yang bernama Tuti (18) yang melaporkan suaminya yang bernama Yul (22) ke Polresta karena sering memukuli sambil memaksa untuk melakukan hubungan seksual.
"Karena saya sudah kesal, maka saya bikin laporan itu agar dia kapok", kata Tuti.

Kini kasus KDRT tersebut masih dalam penyidikan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Sat Reskrim Polresta Cirebon.

Dari kasus tersebut, mari kita bahas dari sisi Psikologi.
Apa itu sadomasokhisme?
Apa enaknya disakiti dan menyakiti?
Benarkah memang kecenderungan itu ada pada kita?

Halim (bukan nama sesungguhnya), 37 th, kini dilanda konflik batin. Pasalnya, setiap kali melakukan hubungan intim dengan istrinya, ia selalu "menghajar" istrinya dalam arti sesungguhnya. Dengan itu, Halim mendapatkan kepuasan seksual.

Tapi setiap kali ia sadar, ia sedih karena merasa telah berlaku kejam. Pada dasarnya, Halim tidak ingin melihat istrinya kesakitan. Repotnya, disisi lain ia membutuhkan kesadisan itu.

Untunglah, Siti istrinya meskipun pada awalnya merasa marah dan terhina, lama-lama bisa memaklumi keadaan suaminya Halim sehingga perilaku sadisme itu tidak lagi terasa sadis baginya.

Lebih-lebih karena Halim menyatakan terus-terang penyimpangannya, sebelum mereka memutuskan menikah.

Lain lagi kasus George di USA yang sampai dijatuhi hukuman penjara sembilan tahun karena terbukti membunuh wanita penghibur yang dikencaninya.

Kepada konsultan Psikologinya, George masih tetap berkata "Saya tidak pernah bermaksud membunuhnya. Saya hanya ingin mendapatkan kepuasan seksual".
Menyedihkan memang...

Mendapatkan kepuasan seksual melalui kekerasan (menyakiti atau disakiti secara fisik, biasanya melalui cubitan, pukulan, tamparan, bahkan lecutan, dan sebagainya) seperti kasus di atas merupakan penyimpangan perilaku yang disebut sadomasokhisme.

Istilah ini merupakan penggabungan dari dua perilaku berlawanan, yaitu sadisme (orang yang mendapat kepuasan seksual dengan cara menyakiti pasangannya) dengan masokisme (orang yang mendapat kepuasan seksual dengan cara disakiti).

Kenapa sadisme digabungkan dengan masokhisme, setidaknya ada dua pendapat.
Pertama karena penderita biasanya butuh pasangan yang masokhistis.
Kedua, penderita bisa memiliki dua peran sekaligus, sadistis dan masokhistis.

Seorang pakar perilaku yang banyak mengamati masalah ini Dr. Jack G. Weir, menyebutkan sebagai sadomasokhisme yang sebenarnya, jika orang menikmati memberikan punisment sekaligus menikmati mendapat punisment.

Pengidap sadomasokhisme ada tiga kategori, yang hanya ingin disakiti, yang hanya ingin menyakiti, dan yang menginginkan disakiti maupun menyakiti. Jenis yang disebut terakhir ini umumnya terdapat pada pasangan homoseksual.

Pasangan ini biasanya memiliki relasi sejajar atau sama, baik menjadi "tuan" maupun "budak" secara bergantian.

Sedangkan sadisme umumnya diderita pria, sebaliknya masokhisme kebanyakan diderita wanita. Hal ini ditunjang oleh temuan para ahli bahwa pada wanita memang sering kali muncul keinginan untuk diperlakukan secara kasar, secara paksa dalam hubungan seksual. ???

Sebuah studi yang dilakukan oleh Gebhard, juga menemukan bahwa para pemerkosa umumnya memiliki mimpi sadistis atau berfantasi sadistis selama masturbasi.

Tapi Weir berpendapat, bahwa baik pria maupun wanita yang diteliti umumnya berfantasi secara spontan tentang prilaku sadomasokhisme ini ketika mereka dirangsang.

Dalam beberapa kasus bahkan dalam fantasinya si partner yang menimbulkan rangsangan seksualnya adalah seorang teman lama.

Mungkin masih dapat dipertanyakan, mengapa pada sadomasokhisme pria cenderung untuk menyakiti dan wanita sebagai peran ingin disakiti.

Tapi secara singkat dapat dijelaskan, ini ada kaitannya dengan pembagian peran seksual masyarakat yang lebih meletakan pria adalah superior dan wanita adalah inferior.

Yang juga menjadi tanda tanya, apakah penyimpangan semacam ini ada dan cukup banyak di sekitar kita?

Angkanya memang tidak jelas. Yang jelas adalah cukup banyak orang yang menikmati dan menolak bentuk interaksi agresif selama berhubungan seksual.

Survei dari Hunt, memperlihatkan bahwa sepuluh persen pria dan delapan persen wanita berusia di bawah 35 tahun, diketahui mendapatkan kesenangan seksual dari perilaku sadomasokhisme. Meski praktek sadomasokisme memilki potensi bahaya cukup tinggi, toh itu tetap menjadi bagian dari kehidupan seksual orang tertentu.

Pada beberapa kasus sadomasokhisme, khususnya mereka yang cenderung pada sadisme, disebabkan oleh rasa bermusuhan yang berlebihan dan sifat menggenalisir. Ini biasanya terjadi pada seseorang yang memiliki perasaan tidak aman dan sangat marah pada suatu keadaan, kemudian ingin membalas dendam terhadap keadaan itu dengan cara melampiaskannya lewat hubungan seksual.

iiih.. serem juga yaa.. disakiti untuk dinikmati ..
atau dinikmati untuk disakiti... ??

takuuut aaahh . . .


Minggu, 25 Januari 2009

PARANOID

Sejumlah orang ternama dan artis diduga menderita paranoid.
Dan bukan mustahil, merekapun ada di sekitar kita.


Didi, seorang insinyur berusia 43 tahun, ayah dua anak, dikenal sangat cemerlang di kantor, bahkan menjadi andalan untuk proyek-proyek besar.

Dalam pergaulan sosialnya pun normal-normal saja. Namun, jika sudah berpikir tentang istrinya, perilakunya mulai ganjil.

Pria ini selalu curiga bahwa istrinya diam-diam main serong dengan laki-laki lain di belakang punggungnya dan bertujuan menguras kekayaannya.

Untuk itu, kadang-kadang pada jam makan siang, ia menyempatkan diri keluar kantor, naik taxi dan memata-matai rumahnya sendiri dari dalam taxi. Dengan itu, ia berharap bisa memergoki istrinya bersama laki-laki lain.

Dan tidak hanya itu, Didi pun bahkan diam-diam memasang alat penyadap telepon dari salah satu kamar, untuk mengetahui dengan siapa istrinya berbicara.

Prilaku Didi disebut ganjil karena ia membangun khayalan buruk tentang istrinya dengan tak berdasar sama sekali. Didi, diduga menderita paranoid.

Penderita paranoid pada umumnya memang memiliki delusi (khayalan) dan perasaan curiga yang luar biasa. Ada ahli yang membedakan paranoid secara garis besar ke dalam dua golongan, yakni paranoid dan paranoia.

seseorang disebut menderita paranoid jika ia memperlihatkan kekacauan dalam proses berpikirnya serta menampakan bentuk-bentuk ketidakmampuan menyesuaikan diri yang ekstrem, namun mereka tidak memperlihatkan kepribadian ganjil dan memburuk seperti nampak pada mereka yang umumnya disebut gila.

Bahkan Adolf Hitler, yang diketahui sanggup mengambil keputusan mengerikan dengan menghabiskan nyawa jutaan manusia itu tidak dianggap sungguh-sungguh gila oleh para pakar perilaku, melainkan sekadar menderita gangguan kepribadian (paranoid personality disorder). Tapi ada juga yang menyebutnya menderita paranoid skizofrenia.

Adapun penderita paranoia umumnya memiliki khayalan yang logis dan sistematis. Penderita paranoia biasanya merasionalisasi dirinya dengan pikiran dan keyakinan bahwa siapa saja yang berlawanan atau berbeda pandangan dengan dirinya adalah salah.

Selebihnya, mereka tidak memperlihatkan tanda-tanda ketidaknormalan jiwa. Mereka bahkan bisa berinteraksi secara normal terhadap setiap tanggapan atas aktivitasnya yang berada di wilayah khayalan itu.

Paranoia sendiri ada bermacam-macam jenisnya. Ada yang disebut persecutory paranoia. Penderita jenis ini konon terbanyak dibandingkan paranoia jenis lain. Penderita paranoia jenis ini ditandai dengan khayalan tentang akan adanya penyiksaan atau penganiayaan terhadap dirinya.

Mereka merasa yakin betul bahwa seseorang atau suatu kelompok sedang atau selalu memusuhinya dan merencanakan akan mengganggu dan merusak hidupnya. Diduga banyak pemimpin negara dan artis ternama yang menderita gejala persecutory paranoia ini.

Sehingga banyak tindakan yang kemudian mereka ambil mengarah pada upaya melindungi diri sendiri secara berlebihan. Mereka jadi sedemikian gampang curiga kepada orang yang tidak berada dekat dengannya.

Jenis paranoia lain adalah grandiose paranoia, yaitu penderitanya yakin bahwa mereka dikaruniai kemampuan dan kekuasaan luar biasa. Biasanya penderita paranoia jenis ini memanifestasikan dirinya sebagai seorang pemimpin pembaharu, pemimpin agama, dan pencipta yang sederhana.

Penderita paranoia jenis ini selalu merasa dirinya sebagai nyaris maha kuasa, paling hebat, paling menentukan, paling agung dan sejenisnya.

Contoh jelas penderita grandiose paranoia ini adalah Jim Jones (dia juga sekaligus menjadi contoh shared paranoid versi ahli lainnya), pemimpin spritual AS yang pada bulan november 1978 mengajak sekitar 900 orang pengikutnya untuk terlibat dalam upaya bunuh diri massal dengan minum racun kimia.

Kata-kata bahwa Tuhan selalu berada di pihaknya dan Tuhan selalu mendukung segala rencana yang dibuatnya seringkali muncul dari penderita grandiose paranoia ini.

Jenis paranoia lain adalah jealous paranoia, yang secara sederhana dapat dikatakan penderita memiliki rasa iri hati yang sedemikian hebat kepada orang lain. Biasanya penderita menangkap perilaku dan sikap tertentu dari orang lain dan kemudian menghubungkannya dengan ketidaksetiaan pasangannya atau orang yang berada di dekatnya.

Misalnya jika suami membeli parfum baru, bagi istri yang menderita paranoia, itu berarti suaminya telah menyeleweng.

Atau bila istri terlambat pulang kerja, bagi suami yang mengalami paranoia berarti istrinya nyeleweng dengan bosnya. Kasus Didi di atas adalah contoh yang jelas tentang jealous paranoia.

Ada lagi yang disebut erotic paranoia, yaitu penderita memiliki kayakinan keliru, semua orang dianggapnya selalu cinta kepadanya. Misalnya semua orang dianggapnya selalu cinta kepadanya.

Misalnya seorang teman baik memberikan senyum manis atau sentuhan persahabatan, oleh penderita paranoia akan diartikan sebagai tanda bahwa teman tersebut telah jatuh cinta padanya. Mungkin setelah itu ia akan mulai mengirimkan bingkisan dan berbagai hadiah.

Dan jika tanggapannya biasa-biasa saja, ia akan berpikir bahwa itu adalah ujian bagi sebuah cinta. Cukup banyak pria maupun wanita yang menderita erotic paranoia ini.

Yang menjadi pertanyaan mengapa seseorang bisa menderita paranoid?

Sejumlah pakar prilaku melihat kelainan jiwa ini dipupuk penderitanya semenjak kanak-kanak. Ada situasi yang menyebabkan mereka merasa demikian frustasi mengalami konflik emosi sehingga muncul perasaan luar biasa gelisah dan tidak aman.

Misalnya suasana rumah dirasakan sedemikian kaku dan otoritarian. Penyebab umumnya biasanya orang tua yang terlalu dominan atau kritis, sehingga anak merasa selalu ditolak dan merasa tidak aman.

Jika kita mawas diri, sesungguhnya banyak orang tua yang perilakunya menyebabkan trauma pada anak-anaknya. Misalnya menerapkan disiplin yang sedemikian kaku, seringkali membuat anak merasa dipermalukan, selalu menuntut anak berbuat sempurna secara kelewatan dan perlakuan kejam lain.

Penyebab lain paranoia adalah tak adanya rasa percaya terhadap orang lain. Ketidaksanggupan mempercayai orang lain ini muncul karena seringkali ia tidak mendapatkan umpan balik yang positif dalam pengalaman hubungan interpersonalnya, juga tidak ada ikatan emosional yang berarti.

Akibatnya, anak menjadi ekslusif dan hanya memiliki sedikit teman yang dapat dipercayainya. Tapi ketika dewasa, ia akan memiliki rasa percaya diri yang luar biasa (over convidence), self-assertve, suka mengkritik dan agresif.

Seseorang ada kalanya menderita paranoid juga karena selalu merasa gelisah dan marah pada keadaan, sehingga di matanya orang lain selalu menjadi sumber masalah baginya.

Sebaliknya karena sikapnya yang kemudian menjadi selalu curiga dan berjarak kepada orang lain, orang lainpun lebih suka menghindarinya dan menjadikannya bahan ejekan. Keadaan ini menjadi input balik lagi dan pada gilirannya persepsi yang salahpun semakin terbentuk.

Perasaan bersalah ada kalanya juga mendorong seseorang menjadi paranoid. Umumnya tindakan seseorang yang dirasakan sendiri terlalu jauh melampaui batas normal, etik dan moral dan ia merasa layak menerima hukuman.

Tapi pada gilirannya ia mulai berpikir bahwa hukuman itu memang sengaja direncanakan oleh orang-orang di sekelilingnya.

Dari sini kita akhirnya pun tahu, ternyata tidak gampang menjadi orang tua. Karena seringkali tanpa sadar, perilaku, sikap maupun kata-kata orang tua berdampak buruk terhadap perkembangan anak-anak.




SkiZOFRENIA

Salah satu jenis gangguan jiwa yang merupakan permasalahan kesehatan di seluruh dunia adalah skizofrenia.

Para pakar kesehatan jiwa menyatakan bahwa semakin modern dan industrial suatu masyarakat maka semakin besar pula stresor psikososialnya, yang pada gilirannya menyebabkan orang jatuh sakit karena tidak mampun mengatasinya. Salah satu penyakit itu adalah gangguan jiwa skizofrenia.

Skizofrenia merupakan bahasan yang menarik perhatian pada konfrensi tahunan "The American Psychiatric Association/APA' di Miami, Florida, Amerika Serikat. Sebab di AS angka pasien skizofrenia cukup tinggi (lifetime prevalence rates) mencapai 1/100 penduduk.

Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang penderitanya tidak mampu menilai realitas dan dirinya sendiri. Gejalanya, dibagi dua yaitu negatif dan positif.

Yang termasuk gejala positif adalah :
  • Delusi, yaitu suatu keyakinan yang tak rasional (tidak masuk akal) tapi diyakini kebenarannya,
  • kekacauan alam pikirannya,
  • Halusinasi, yaitu pengalaman pancaindra tanpa ada rangsangan (stimulus). Misalnya mendengar suara-suara/bisikan-bisikan padahal tak ada sumber dari suara/bisikan itu,
  • Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan,
  • Merasa diri "orang besar", merasa serba mampu,
  • Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya,
  • Menyimpan rasa permusuhan,
Yang termasuk gejala negatif, adalah :
  • Alam perasaannya (affect) yang "tumpul" dan "mendatar", dan ini terlihat dari wajahnya yang tak menunjukan ekspresi,
  • Menarik diri atau mengasingkan diri, tak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun,
  • Sangat sedikit kontak emosional, sukar diajak bicara (pendiam),
  • Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial,
  • Kesulitan dalam berpikir abstrak,
  • Tidak ada upaya dan usaha, tidak ada dorongan kehendak/inisiatif, tak ada spontanitas, monoton, serta tak ingin apa-apa, dan
  • Pola pikir stereotip.
Dari pengalaman praktek beberapa psikiater, tampak gejala positif skizofrenia baru muncul pada episode akut. sedangkan pada stadium kronis gejala negatifnya lebih menonjol. Tapi tidak jarang kedua gejala tersebut saling berbaur, tergantung pada stadium penyakitnya.

Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etilogi) yang pasti mengapa seseorang menderita skizofrenia. Ternyata dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan tidak ditemukan faktor tunggal. Penyebab skizofrenia menurut penelitian mutakhir, antara lain :
  1. Faktor genetika
  2. Virus
  3. Auto antibody
  4. Malnutrisi
Penelitian lain menyebutkan bahwa gangguan pada perkembangan otak janin juga mempunyai peran bagi timbulnya skizofrenia kelak dikemudian hari. Gangguan ini muncul misalnya karena kekurangan gizi, infeksi, trauma, toksin dan kelainan hormonal.

Penelitian terakhir menyebutkan bahwa meskipun ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut epigenetik faktor.

Kesimpulannya adalah bahwa skizofrenia muncul bila terjadi interaksi genetika dengan :
  • Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat mengganggu perkembangan otak janin,
  • Menurunnya autoimun yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan,
  • Komplikasi kandungan, dan
  • Kekurangan gizi yang cukup berat, terutama pada trimester kehamilan.
Orang yang sudah mempunyai faktor epigenetik tersebut, bila mengalami stresor psikososial dalam kehidupannya maka resikonya lebih besar untuk menderita skizofrenia dari pada orang yang tidak ada faktor epigenetik sebelumnya.

Perubahan-perubahan apakah yang terjadi pada susunan saraf (otak) pasien skizofrenia?

Penelitian mutakhir menyebutkan bahwa perubahan-perubahan pada neurotransmiter dan reseptor di sel-sel saraf otak (neuron) dan interaksi zat neurokimia dopamin dan serotonin, ternyata mempengaruhi alam pikir, perasaan, dan prilaku yang menjelma dalam bentuk gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia.

Selain perubahan-perubahan yang sifatnya neurokimiawi di atas, dalam penelitian dengan menggunakan CT Scan otak, ternyata ditemukan pula perubahan pada pada anatomi otak pasien, terutama pada penderita kronis.

Perubahannya ada pada pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks bagian depan, dan atrofi otak kecil (cerebellum).

Dengan mengetahui psikopatologi dan patofisiologinya, para ahli telah menemukan obat anti skizofrenia yang berkhasiat memperbaiki sistem neurotransmiter di otak tersebut.

Obat itu mampu menghilangkan gejala-gejala positif dan negatif skizofrenia, atau dengan kata lain pasien skizofrenia dapat disebuhkan.

Penelitian di bidang obat-obatan khususnya untuk skizofrenia dalam dua dekade terakhir, sungguh menggembirakan. beberapa tahun terakhir ini telah diperkenalkan obat anti skizofrenia generasi baru.

Obat-obat generasi lama (disebut sebagai anti psikotik tradisional) mempunyai banyak keterbatasan sehingga para ahli mencari rumus baru untuk memperbaikinya.

Obat anti skizofrenia generasi baru dibuat untuk menghilangkan gejala positif dan negatif di atas, disamping efek sampingnya dibikin sekecil mungkin, bahkan kalau bisa tanpa efek samping.

Obat anti psikotik generasi baru, misalnya clozapine dan risperidone ( turunan dari benzisoxazole).

Risperidone sudah terdaftar dan beredar di Indonesia dengan indikasi utama bagi pengobatan skizofrenia. Dari penelitian elozapine tidak menunjukan respons yang memuaskan bagi pasien skizofrenia. Selain itu masih ada efek samping yang tidak dikehendaki.

Karena itu kini harapannya tertumpu pada risperidone. Ini karena risperidone mempunyai beberapa kelebihan, antara lain :
  1. Dosis rendah dengan efektivitas terapi dalam waktu relatif singkat
  2. Kecil atau tidak ada efek samping ekstrapiramidal (perkinsonism)
  3. Baik gejala positif maupun gejala negatif skizofrenia cepat hilang
  4. Memperbaiki fungsi kognitif (berpikir)
Pengobatan terhadap skizofrenia tentu saja tidak semata-mata dengan obat sebagaimana diutarakan di muka. Tapi juga disertai terapi lain, misalnya psikoterapi, psikoreligius terapi, terapi kognitif dan upaya-upaya rehabilitasi lainnya.

Sehingga pasien dapat kembali hidup secara wajar, baik itu di rumah, tempat kerja, dan di lingkungan sosial masyarakat.


Kamis, 22 Januari 2009

RASA BERSALAH

Rasa Bersalah Menghinggapi Anda ?
Perlukah Rasa bersalah ?
Kenapa Ada Rasa Bersalah Buatan?
dan Rasa Bersalah Betulan ???


Mahatma Gandhi bukan seorang pastur. Maka ia tidak wajib selibat atau pantang berhubungan seksual. Tapi toh ia memilih tidak berhubungan seksual meskipun istrinya cantik, bertubuh indah dan sangat mencintainya.

Kenapa? Tak lain karena negarawan religius ini memiliki rasa bersalah teramat mendalam terhadap ayahnya.

Gandhi tak bisa memaafkan dirinya sendiri, setelah menyadari bahwa pada saat ayahnya menghembuskan napas terakhir ia justru tengah berasyik-masyuk dengan istrinya. Maka sejak saat itu ia meminta persetujuan dari istrinya untuk tidak lagi berhubungan intim.

Padahal mereka masih muda pada saat itu. Lagipula sesungguhnya bukan salah Gandhi maupun istrinya bila sang waktu memilih hari kematian ayahnya pada saat itu.

Tapi begitulah Gandhi, yang memilih "berlaku kejam" terhadap diri sendiri (dan istrinya) demi menebus rasa bersalahnya.

Sesuatu tindakan yang mungkin terasa sangat tidak masuk akal bagi kebanyakan orang. Bahkan ini nampak sebagai reaksi tidak normal terhadap sebuah peristiwa yang sama sekali di luar jangkauan kuasanya.

Bagaimana seseorang menebus rasa bersalahnya?

tergantung pada pribadi orang bersangkutan yang satu sama lain tentu saja berbeda. Antara lain kepekaan, cara dan ukuran khas dari orang bersangkutan dalam menghadapi rasa bersalah.


Rasa bersalah biasanya muncul ketika orang sampai pada pengertian atau kesadaran tentang baik dan buruk yang sangat subyektif, tergantung pada pengalaman religius dan emosional yang bersangkutan.

Kasus Putri Stephanie dari Monaco, misalnya bisa menjadi contoh. Setelah beberapa tahun dicitrakan sebagai putri yang liar dan bengal oleh media massa, tiba-tiba sang putri mengubah citranya, menjadi pendiam dan alim.

Konon, dia merasa sangat bersalah atas kematian ibunya, Putri Grace yang tewas dalam kecelakaan mobil yang dikemudikan olehnya.

"Saya merasa menyesal kenapa Ibu yang meninggal, sedangkan saya yang memegang stir selamat dan hanya cidera ringan", begitu katanya.

Gandhi dan Stephanie punya ukuran sendiri tentang rasa bersalah dan wujud penyesalannya. Dan tentu saja tidak dapat dikatakan wujud penyesalan atau penebusan yang satu lebih hebat ketimbang yang lain. Ukuran itu sangat bersifat subyektif.

Dalam kajian psikologi, rasa bersalah dibagi ke dalam dua kategori :

Pertama, Rasa bersalah yang benar-benar (Real Guilt). Pada setiap orang biasanya melekat kecenderungan untuk berbuat dosa atau melanggar hukum Tuhan.

Tentu saja bentuknya macam-macam. Mulai dari yang oleh kebanyak orang dikategorikan ringan seperti berbohong, sampai yang sangat berat , seperti membunuh.

Perasaan telah berbuat jahat dan telah melakukan tindak kesalahan karena melanggar hukum Tuhan inilah yang biasanya disebut rasa bersalah yang beneran.

Rasa bersalah karena berbuat dosa ini malah dianggap oleh yang bersangkutan sebagai bukti pengingkaran jiwanya terhadap Tuhan.

Akibatnya ia menjadi sangat tertekan. Dan biasanya bila mereka cukup religius, rasa bersalah itu lantas membimbingnya untuk bertobat dan percaya bahwa Tuhan mau mengampuni kesalahannya.

Dalam kasus seperti ini, umumnya penderita bisa mengurangi tekanan oleh rasa bersalah atau bahkan perasaan bersalah itu sirna. Pada sebagian orang, ada kalanya mereka menyadari dirinya telah melakukan kesalahan atau telah melanggar hukum Tuhan. Toh, perbuatan yang disadari salah itu tidak dihentikannya. tak heran kalau kitapun sering mendengar guyon yang menyebut "dosa itu nikmat".

Siapa sih yang mau menyingkirkan kenikmatan? Faktanya, banyak diantara kita yang memilih tetap berada dalam keadaan berdosa. Dan buntutnya banyak orang kemudian menjadi merasa gelisah, tegang, dan merasa bersalah.

Pada banyak pengalaman, terbukti tidak mudah untuk bisa melepaskan diri dari perasaan-perasaan tak enak seperti itu. Bisa jadi seseorang mungkin selama bertahun-tahun telah berusaha menenangkan diri, tidak mau menghadapi kenyataan atau berusaha mengingkari dirinya tengah berada dalam dosa.

Bahkan mungkin banyak yang kemudian menghabiskan waktunya dengan melakukan berbagai aktivitas, tapi masih saja ingatan pada dosa atau kesalahan yang dilakukan itu tak bisa dilepaskannya.

Para penjahat ulung atau pada orang yang punya kepribadian sosiopatik sekalipun, seringkali mereka juga teringat pada kesalahan yang telah dilakukan.

Maka merekapun membutuhkan pengampunan. Pada orang-orang religius, yang percaya Tuhan selalu membimbing langkah mereka, rasa bersalah, gelisah maupun ketegangan bisa menjadi bagian dari hidup mereka. Sebab, mereka juga kadang merasa bahwa sikap dan perbuatannya tidak menyenangkan hati Tuhan. Dan segala kegelisahan itu baru hilang setelah mereka yakin Tuhan telah memaafkan.

Kedua, rasa bersalah "bikinan" (pseudo guilt). Dalam fakta, kadang-kadang rasa bersalah atau rasa berdosa yang muncul pada diri seseorang sering bukan merupakan pengalaman spritual malainkan hasil dari situasi emosional semata.

Mungkin saja, seseorang telah menyerahkan hidupnya pada Tuhan, tapi pada saat yang sama dia tetap tidak sanggup menghapuskan rasa bersalahnya.

Maka tak henti-hentinya dia memohon supaya Tuhan mengampuni kesalahannya, karena rasa bersalah ataupun perasaan bahwa dirinya jahat atau kotor tidak juga lenyap dari dirinya.

Dalam pandangan psikologi, reaksi psikologis semacam itu dianggap sebagai reaksi tidak normal yang dibawa oleh situasi lingkungannya. Biasanya pengalaman pada masa kanak-kanak.

Salah satu yang sering menjadi rasa bersalah "bikinan" ini adalah perilaku orang tua yang selalu mengutuk, menyalahkan dan menuduh.

Banyak anak sebenarnya merasa tidak sedikitpun melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap hukum Tuhan, tapi mereka sering mendapatkan penolakan.

Orang tua, guru dan orang dewasa lain seringkali tanpa disadari telah melontarkan ucapan-ucapan atau reaksi penolakan lain yang menyebabkan anak merasa dirinya tak berguna.

Karena itu, sangat menyedihkan bila anak tumbuh dalam lingkungan yang menyebabkan timbul perasaan tidak aman dan tidak terlindungi.

Akibatnya yang biasanya muncul adalah rasa frustasi dan konflik di dalam diri anak, dalam masa yang sangat lama.

Mereka akan menyalahkan diri sendiri atas segala macam penolakan itu dan mulai menciptakan rasa berdosa dan depresi yang serius.

Penting tidak penting, memiliki rasa bersalah bisa menjadi salah satu upaya seseorang untuk meningkatkan kualitas kepribadian.

Gandhi, misalnya menyebut sebagai "cobaan saya dalam kehidupan". Yang tidak diharapkan tentu saja jika perasaan bersalah itu berakibat negatif. Artinya bukan untuk meningkatkan diri, tetapi malah depresi atau sakit.

Semoga setelah membaca tulisan ini, pembaca dapat mengambil hikmahnya agar rasa bersalah yang ada dapat dikelola menjadi hal yang positif untuk pengembangan kepribadian dan pengendalian emosional guna lebih mendekatkan diri dari sisi spiritual.


N E C R O P H I L I A

Seorang necrophilis cenderung menyukai kematian.
Ia suka bau busuk dan kurang antusias dalam hidup.
Kenapa ia suka menyetubuhi mayat?

BENARKAH PROFESI PENGURUS MAYAT
ADALAH PENDERITA NECROPHILIA?


Tentu ini tuduhan gegabah yang tak dapat dipungkir, profesi mengurus mayat memang hampir selalu dipandang sebagai profesi istimewa kalau bukan malah aneh.

Sampai-sampai mereka yang memiliki profesi inipun sering ditatap secara aneh pula. "Kok mau-maunya?, ko tidak takut? kok tidak ngeri?" dan sebagainya.

Gambaran ini menunjukan betapa kematian dan hal-hal yang berhubungan dengannya, hampir selalu tidak disukai dan kalau bisa malah dihindari. sehingga wajar kalau ada orang yang "mendekati kematian" maka dianggap aneh.

Tapi apa sebenarnya necrophilia?


Secara sederhana necrophilia sering disebut sebagai pencinta kematian. Gejala ini umumnya dibagi dalam dua kategori, yaitu necropilia seksual dan necrophilia non-seksual.

Yang dimaksud necrophilia seksual adalah jika seseorang memiliki hasrat untuk melakukan hubungan seksual atau melakukan berbagai kontak seksual dengan mayat, biasanya pelakunya pria terhadap mayat wanita.

Sedangkan necrophilia non-seksual adalah jika seseorang memiliki hasrat untuk mengurusi, untuk dekat, memandangi dan terutama memiliki hasrat untuk memotong-motong mayat.

Itu sebabnya ada ahli yang menggolongkan perilaku ini sebagai agresi berbahaya. Malah ada negara yang menyatakan dalam hukumnya bahwa necrophilia merupakan prilaku kriminal.

Secara lebih rinci kriminolog Jerman bernama H.Von Hentig memberikan contoh-contoh kasus yang dapat memberikan gambaran jelas tentang perilaku yang tergolong necrophilia ini.
  1. Seseorang yang melakukan kontak seksual dengan mayat wanita baik dalam bentuk hubungan intercource mapun menipulasi organ seksual
  2. Seseorang yang timbul ketertarikan atau hasrat seksualnya setelah memandangi tubuh mayat wanita
  3. Seseorang yang memiliki rasa tertarik terhadap mayat, kuburan dan terhadap obyek yang berkaitan dengan kuburan, seperti bunga kemboja putih, foto/lukisan orang yang meninggal
  4. Jika seseorang suka memotong-motong mayat (mutilasi)
  5. Seseorang yang mengidamkan dapat menyentuh atau mencium aroma mayat ataupun segala sesuatu yang berbau busuk
Tapi tulisan ini tidak bermaksud mengatakan bahwa setiap orang yang berprofesi bersangkut paut dengan mayat adalah penderita necrophilia, meskipun mereka selaku "mendekati kematian".

Tetapi bisa dimaklumi bahwa karena sifat pekerjaaan yang memungkinkan mencium aromanya, memandangi ataupun menyetubuhi mayat, maka mereka paling gampang dituduh sebagai penderita necrophilia.

Namun sesungguhnya penderita necrophilia dapat dijumpai dimana-mana, dalam profesi apapun. Buktinya banyak kasus pembunuhan yang dilatarbelakangi oleh motivasi yang bersifat necrophilia. Misalnya membunuh calon korban agar dapat menyetubuhi mayatnya.

Praktek necrophilia ini juga dapat dilakukan melalui fantasi, seperti yang terjadi pada kasus berikut ini. Seorang pemuda sebut saja namanya Yayan, merasa begitu kehilangan ketika pacarnya meninggal.

Menurut pengakuan Yayan, ia sudah pernah melakukan hubungan intim dengan si pacar. Dan setelah kematian sang pacar, "setiap kali masturbasi saya selalu membayangkan berhubungan intim dengan dia", ujar Yayan kepada seorang Psikolog. Tak syak, Yayan telah berfantasi bersetubuh dengan tubuh yang sudah mati.

Ketika kuliah Yayan mengambil jurusan kedokteran atas anjuran orang tuanya. Disanalah kecenderungannya menjadi seorang necrophilis seperti mendapat kesempatan berkembang.

Ketika memasuki kamar mayat bersama teman-temannya dan menemukan tubuh wanita, timbul keinginan Yayan untuk menyetubuhi mayat wanita tersebut. Yayan sadar bahwa hasrat seperti itu salah.

Tapi pada suatu ketika ia sendirian memasuki kamar mayat, Yayan menggunakan kesempatan itu untuk menyentuh dan akhirnya menyetubuhi mayat wanita dihadapannya.

"Saya senang kalau bisa sendirian di kamar mayat, karena saya bisa menyadari kalau saya memang berbeda dengan orang lain selama saya berada bersama mayat wanita.

Pada saat itulah saya bisa menemukan hasrat seksual saya terhadap tubuh mayat wanita, sebuah perasaan yang saya miliki sejak kematian pacar saya", ujar Yayan.

Bagaimana dengan necrophilia non-seksual?
Necrophilia jenis ini biasanya dijumpai pada orang yang memilki hasrat kuat untuk merusak. Gejala ini sangat mungkin sudah tampak pada masa kanak-kanak, tapi mungkin juga baru terlihat pada usia dewasa.

Menurut Von Hentig, keinginan merusak pada penderita necrophilia bertujuan untuk mengoyakan struktur kehidupan.

Tak heran kalau Eric Fromm menggolongkan penggunaan teknologi peperangan yang menghancurkan peradaban manusia sebagai gejala necrophilia.

Tapi pada kasus konvensional, hasrat mengoyakan struktur kehidupan ini secara jelas diekspresikan dengan mengidamkan memotong bagian tubuh kalau tidak manusia ya binatang.

Namun tidak berati bahwa kasus pembunuhan potong tubuh (mutilasi) dan beberapa kasus sejenis yang pernah menghebohkan beberapa waktu lalu adalah kasus necrophilia.

Yang membedakan necrophilia dengan kasus pembunuhan/pemotongan mayat adalah motivasi yang melatarbelakanginya.

Pada pembunuhan biasa motivasinya bisa cemburu, dendam, marah dan sejenisnya, sedangkan pemotongan mayat dilakukan untuk menghilangkan jejak atau karena panik.

Sedangkan pada necrophilia menurut Eric Fromm, yang menjadi tujuan bukan kematian korban melainkan tindakan memotong-motong itu sendiri yang mendatangkan kenikmatan tertentu pada pelakunya.

Kasus lain dapat dijumpai pada mereka yang sering bermimpi menemukan bagian tubuh yang menambang atau terserak entah dalam genangan darah tapi sering kali air kotor, bersama-sama dengan tinja.

Hasrat terhadap potongan-potongan tubuh ini, kata para ahli memang seringkali muncul dalam fantasi ataupun mimpi.

Adapun bentuk necrophilia yang paling tidak kentara dapat dijumpai pada orang-orang yang mengidamkan untuk berdekatan dengan mayat, kuburan atau obyek lain yang berkaitan dengan kematian, seperti disebut di atas. Yang ini bisa terjadi tidak saja pada pria (seperti dalam kasus necrophilia seksual) tapi juga pada wanita.

Seorang wanita yang berkata " Saya sering membayangkan tentang makam dan mayat yang membusuk di dalam kubur", dapat ditafsirkan sebagai gejala necrophilia.

Ketertarikannya terhadap yang busuk dapat ditafsirkan sebagai ekspresi dari keinginan untuk mencium bau busuk yang merupakan salah satu gejala necrophilia.

Beberapa karakter khusus yang biasanya menandai seseorang mengidap necrophilia adalah pandangannya yang selalu negatif terhadap masa depan. Karena bagi mereka kehidupan yang sesungguhnya adalah masa lampau, bukan hari ini atau hari esok.

Mereka juga memiliki minat besar terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan sakit. Katakanlah seorang Ibu yang selalu bicara tentang penyakit anaknya, kegagalannya, masa depannya yang suram, dan pada saat yang sama ia tidak antusias terhadap perubahan yang lebih baik, tidak ada respon terahap antusiasme anaknya dan segala sesuatu yang berkembang.

Dalam hal warna, necrophilia biasanya cenderung menyukai warna-warna hitam atau warna-warna gelap. Karena mereka menyukai bau-bau busuk, kesukaan muncul dalam dua bentuk : mereka suka bau tinja, urien dan bau busuk lainnya serta senang membaui toilet (iiiiihh...).

Bentuk lain justru usaha keras menekan keinginan untuk mencium bau busuk ini. Dalam tersenyum pun, kata para ahli, mereka juga punya cara yang berbeda, yaitu menyeringai, senyum atau tawa yang tidak normal, tidak menunjukan kebebasan dan tidak hidup.

Yang jadi soal, kenapa seseorang sampai menderita necrophilia?

Umumnya adalah karena orang yang bersangkutan memiliki trauma tertentu sehingga tidak berani menghadapi kehidupan yang riil dan ia memindahkan kehidupan itu dalam alam kematian beserta semua simbolnya.

Bisa juga karena orang yang bersangkutan tumbuh dengan jiwa yang selalu di dominasi, dikuasai atau direndahkan. Ia memindahkan keinginannya berkuasa ke obyek lain yang lebih pasif yang dapat dikuasainya.

Bersetubuh dengan mayat bagi penderita necrophilia berarti suatu ekspresi dimana ia dapat menguasai pihak lain dan dia bisa merasa menang karena "lawannya" bersikap pasif. Dengan begitu ia merasa dapat mengontrol orang lain.


P E D O P H I L I A

CINTA TERHADAP ANAK MEMANG WAJAR,
TAPI ADA JUGA YANG TIDAK WAJAR
DAN DIANGGAP MENYIMPANG, KENAPA ?

Cinta kepada anak-anak memang terpuji, tapi jika cinta itu kelewatan, mungkin malah perlu diwaspadai. Siapa tahu, si pemberi cinta itu mengalami penyimpangan perilaku.

Widodo, 38, contohnya. Lelaki bertubuh gempal yang dikenal sebagai guru silat di Majalengka Jawa Barat ini pada suatu hari tak biasanya mendatangi beberapa anak lelaki ingusan dan menawarkan apakah mereka mau menjadi sakti?.

"Kalau mau, kamu bisa menundukan macan, menundukan setan dan akan menjadi kebal". Serentak delapan bocah lelaki kecil itu tertarik. Apalagi syaratnya cukup membaca rapal bertuliskan Arab, gampang kan?.

Maka sejak itu mereka berlatih dengan Widodo sang pendekar silat. Sampai pada suatu malam salah seorang bocah, diajak ketempat sepi, seusai berlatih silat.

"kamu akan saya pasangi susuk kekebalan", kata Widodo. "Syaratnya, kamu nggak boleh ngomong sama siapa-siapa dan nggak boleh dilihat orang".

Maka mulailah pakaian si bocah lelaki itu dilucuti satu demi satu. Setelah bugil, Widodo mengelus-elusnya, menelentangkan, membalik, mengelus-elus lagi. Begitu seterusnya. Terakhir si bocah disuruh terkurap.

"Sekarang, mulai pasang susuk", kata Widodo. "Kamu jangan mengeluh lho, kalau mengeluh bisa jadi macan", kata Widodo lagi. OooW !!

Kisah Widodo yang aneh tapi nyata itu terjadi desember tahun lalu terbongkar, Ia dibekuk polisi. Di depan polisi ia juga mengaku heran, kenapa lebih "suka" terhadap bocah lelaki ??

Ini juga true story tentang Sukardi (bukan nama sebenarnya) pria 41 tahun yang dikenal sangat alim oleh keluarga maupun lingkungan sosialnya, bukan saja karena taat menjalani ritual agama tapi juga karena sejauh ini ia tidak pernah berpacaran atau mengganggu anak gadis orang.

Setiap ada kesempatan malah pemuda ini lebih suka menghabiskan waktu dengan anak-anak kecil. Mulai dari keponakan, tetangga sampai dengan murid-muridnya di sekolah. Pendek kata Sukardi adalah sahabat anak-anak.

Kamar tidur maupun kamar kerjanya bahkan selalu terbuka bagi anak-anak kecil, laki-laki maupun perempuan. Tapi siapa nyana, diam-diam, Sukardi mengidap penyimpangan.

Tanpa sepengetahuan siapapun, ia rupanya sering membujuk beberapa anak lelaki berumur 6-8 tahun untuk bersama-sama dengannya saling memperhatikan dan meraba alat kelamin. Untuk itu, ia menyogok sebatang coklat.

Celakanya sejauh ini kebiasaannya tetap menjadi rahasia anak-anak. Rupanya mereka patuh pada bujukan Om Sukardi agar tidak menceritakan pengalaman itu kepada siapapun. Dan Om Sukardi tetap menjadi Om yang baik di mata orang tua anak-anak itu.

Kasus-kasus seperti itu, belakangan memang tampak menggejala. Inilah contoh kasus pedophilia, yaitu aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak di bawah umur.

Kadang-kadang si anak yang menyediakan diri menjadi pasangan orang dewasa setelah melalui bujukan halus seperti yang dilakukan Om Sukardi di atas.

Tapi yang lebih sering penderita pedophilia memaksa dengan ancaman untuk mendapatkan kesenangan seksual. Pada masyarakat tradisional, kasus-kasus pedophilia seringkali dikaitkan dengan upaya seseorang mencari kesaktian atau kekebalan, seperti kisah Widodo.

Mengenai jenis penyimpangan ini, beberapa literatur memberi informasi yang menarik. Misalnya ternyata pedophilia merupakan penyimpangan seksual yang cenderung berulang.

Sebagian ahli menyebut penderita lebih suka memilih anak-anak yang berusia sepuluh tahun di bawah usianya, kecuali tentu saja jika penderita pedophilia ini sudah berusia paruh baya atau malah lanjut usia.

Dan yang menarik, sangat jarang pedophilia diderita oleh wanita. Adapun antara lain, biasanya adalah orang yang pemalu, konservatif dan sangat moralis serta religius.

Mereka umumnya orang yang tergolong tidak mampu mengembangkan diri sebagai seorang heteroseksual dewasa. Ada perasaan tidak aman dalam peran seksualnya yang menyebabkan yang bersangkutan menjadi kapok untuk menjalin hubungan dengan wanita dewasa. Tak heran, dalam beberapa kasus pedophilia, pelaku punya kecenderungan homoseksual.

Penderita pedophilia yang cenderung homoseksual biasanya memang tidak menikah. Diduga karena itu pula mereka lantas memilih anak-anak yang berusia sekitar 12-14 tahun. Sebaliknya penderita pedophilia yang heteroseksual memilih anak berusia 7-10 tahun.

Pada kasus lain pedophilia muncul karena ketidakmampuan seksualnya. Akibatnya yang bersangkutan menjadi minder atau takut bila ketahuan ketidakmampuan seksualnya jika berhubungan dengan orang dewasa.

Pada kasus ini umumnya penderita mengalami impotensi. Pelaku jenis ini biasanya mengenal baik korbannya dan cenderung lebih suka memandangi dan hanya melakukan rabaan saja pada korbannya, ketimbang berusaha mencapai orgasme.

Kalaupun terjadi ejakulasi, mereka biasanya melanjutkannya dengan masturbasi eksibisionisme-veyeuristik (masturbasi sambil memperlihatkan alat kelaminnya sendiri selain memandangi alat kelamin korbannya).

Dengan memahami faktor-faktor itu, maka kita mudah memahami kenapa mereka pada umumnya cenderung lebih suka menjauhkan diri dari lingkungannya atau tergolong orang yang miskin berhubungan sosial (a-sosial).

Secara lebih singkat Robert G Meyer dan Paul Salmon membedakan beberapa tipe pedophilia.
  • Tipe pertama : adalah mereka yang memiliki perasaan tidak mampu secara seksual, khususnya bila berhadapan dengan wanita dewasa seperti di jelaskan di atas.
  • Tipe ke dua : adalah mereka yang punya perhatian khusus terhadap ukuran alat vitalnya. Umumnya mereka merasa ukuran alat vitalnya tidak normal (biasanya menganggap terlalu kecil) ada juga jenis yang terobsesi dengan ketidak sanggupannya menjaga ereksi dalam tempo cukup lama.
Dengan melakukan hubungan atau membandingkan secara seksual dengan anak-anak di bawah umur, upaya itu dirasa mengurangi kegelisahannya.

Dalam kasus ini menurut kedua pakar tersebut juga terdapat unsur narsistik (cinta diri sendiri berlebihan).

Riset yang dilakukan Becker tahun 1987 terhadap 571 kasus di AS, cukup menarik untuk dikaji. Ternyata anak laki-laki jauh lebih banyak yang menjadi korban ketimbang anak perempuan.

Angkanya juga berbanding tiga, kemudian ternyata anak laki-laki biasanya menjadi korban yang disentuh langsung oleh penderita pedophilia, sedangkan anak perempuan biasanya menjadi korban yang tidak disentuh secara langsung.

Misalnya penderita hanya melakukan voyeurisme atau memandangi saja dan penderita melakukan ekshibionisme atau mempertontonkan alat kelaminnya.

Banyak diantara penderita yang memiliki aneka macam perilaku menyimpang lain, umumnya mereka mengidap phedophilia sejak berusia sekitar 15 tahun.

Yang cukup memprihatinkan, riset yang sama bahwa korban penganiayaan seksual ini umumnya anak-anak yang kehilangan figur ibu sebelum usia 16 tahun.

Mereka kehilangan kelembutan dan model perilaku yang dapat mengajarkan bagaimana agar mereka bisa menghindari atau menolak pendekatan seksual jenis ini.

Anak-anak yang menjadi korban pedophilia bukan saja akan mengalami trauma psikologis tetapi juga mereka bisa tertular penyimpangan perilaku tersebut.

Pertanyaaannya dapatkah penderita pedophilia disembuhkan?

Jawabannya adalah bisa. Untuk itu harus ditemukan apa yang menjadi sumber sehingga seseorang menjadi pedophilia.

Selain itu dalam terapy biasanya penderita juga mendapatkan antiandrogen (penekan hormon) yang membatasi libido seksualnya.

Ada juga terapy yang menggunakan film sebagai psikoterapy. Film tersebut berisi gambaran ulang yang dilakukan oleh penderita pedophilia terhadap anak-anak di bawah umur.

Tujuan terapi jelas, yaitu dengan menyaksikan contoh perilaku seperti mereka sendiri lewat film itu, penderita menjadi syok dan muncul rasa enggan untuk melanjutkan penyimpangannya.

Dari kasus-kasus yang ada, penderita pedophilia heteroseksual ternyata lebih mudah disembuhkan ketimbang pedophilia yang cenderung homoseksual.


Rabu, 21 Januari 2009

PENYALAHGUNAAN NARKOBA DAN GANGGUAN JIWA

Apakah Anda Memandang Penyalahgunaan Obat Terlarang Sekedar Sebagai Salah Satu Bentuk Kenakan Anak Muda ?
Menurut Riset Tindakan Tersebut Berkaitan Dengan Gangguan J
iwa

Selama ini penyalahgunaan narkoba lebih diartikan sekedar sebagai kenakalan anak muda, bahkan kita sering mendengar pidato-pidato, drama maupun cerita-cerita yang mengungkap kaitan penyalahgunaan obat terlarang dengan rumah tangga berantanakan (broken home) sebagai klise.

Kita nyaris hanya mengenali persoalan tersebut pada permukaannya saja. Tak heran, pakar seperti EM.Pattison, mengakui pada umumnya orang masih belum menerima pendapat penyalahgunaan obat terlarang sebenarnya adalah orang yang sakit.

Mereka sebenarnya adalah pasien yang mengalami gangguan kepribadian atau gangguan jiwa yang membutuhkan pertolongan dan terapi dan bukannya hukuman. Maka tak perlu merasa sebagai klise kalau hasil riset pun memperlihatkan alasan penggunaan obat-obat terlarang itu adalah untuk menghilangkan kecemasan, kegelisahan, ketakutan, kemurungan, sukar tidur, dan lain sebagainya.

Nampaknya inilah yang mendorong Prof.Dr. H.Dadang Hawari dari Universitas Indonesia untuk melihat persoalan ini lebih mendalam. "kebanyakan orang tua lebih dapat menerima dan percaya bahwa anaknya menyalahgunakan narkoba daripada dikatakan anaknya mengalami gangguan jiwa", begitu kata pakar psikiatri ini.

Dan hasil risetnya memang memperlihatkan bahwa penyalahgunaan obat terlarang adalah gangguan proses mental adiktif. Penyalahgunaan obat terlarang pada dasarnya adalah orang yang mengalami gangguan jiwa, yaitu gangguan kepribadian, kecemasan dan depresi. Sedangkan penyalahgunaan obat terlarang merupakan perkembangan lebih lanjut dari gangguan jiwa itu.

Demikian pula dengan dampak sosial yang ditimbulkannya. Riset tersebut dilakukan terhadap pasien yang dirawat dan datang ke RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) di Jakarta untuk meminta surat keterangan bebas narkotik.

Dari riset itu juga diketahui adanya kaitan erat antara penyalahgunaan obat dengan gangguan kepribadian anti sosial, kecemasan, depresi dan kondisi keluarga. Orang dengan gangguan kepribadian anti sosial memiliki resiko relatif 19,9 kali untuk menyalahgunakan obat terlarang, bila dibandingkan yang tidak mengalami gangguan kepribadian anti sosial.

Begitu juga dengan orang yang mengalami depresi memilki resiko relatif 18,8 kali untuk menyalahgunakan obat terlarang. Mereka yang mengalami kecemasan pun memiliki resiko relatif 13,8 kali untuk menyalahgunakan obat terlarang dibandingkan orang yang tanpa kecemasan. Dan mereka yang hidup dalam kondisi keluarga tidak baik memilki resiko relatif 7,9 kali untuk menyalahgunakan obat terlarang.

Bila dikaji lebih jauh, riset itu juga memperlihatkan bahwa ketidakutuhan keluarga, kesibukan dan absennya orang tua di rumah mempengaruhi anak untuk menyalahgunakan obat terlarang.

Bukan cuma itu, hubungan interpersonal antara ayah dan ibu yang tidak baik, hubungan interpersonal orang tua (terutama ayah) dengan si anak dan hubungan interpersonal anak dengan sesama saudaranya pun mempengaruhi seorang anak dalam menggunakan obat terlarang.

Faktor tersebut masih ditambah dengan kelompok teman sebaya yang sangat mempengaruhi anak untuk menggunakan obat terlarang. Disamping itu juga mudahnya obat terlarang itu diperoleh, serta tersedianya obat tersebut dipasaran resmi maupun tidak resmi.


L E S B I A N

Lesbian Bukan Penyakit ?
Bagaimana Kita memahaminya ?

Selama ini jika kita menyinggung soal homoseksual (lazimnya pria disebut gay dan wanita disebut lesbian) yang ada dalam pikiran kita adalah orang-orang yang berhubungan seksual dengan sesama jenis.

Sesungguhnya ini adalah pengertian yang tidak komplet. Homoseksual adalah gejala yang menyangkut banyak aspek, bukan hanya seksual semata. Lesbianisme juga bukan semacam penyakit atau penyimpangan prilaku.

Dengan anggapan keliru itu tak heran banyak wanita yang memiliki kecenderungan lesbian kemudian mengalami tekanan batin luar biasa. Bukan saja karena dianggap sakit, tapi mereka sendiri merasa sakit.

Sedangkan untuk menyatakan diri terang-terangan bahwa dirinya lesbian, tidak ada keberanian. Lebih-lebih berterus terang kepada keluarga, justru ini yang biasanya paling sulit.

Akibat dari semua itu ada ahli yang menemukan jenis phobia baru dikalangan orang modern, yaitu homophobia. Yaitu ketakutan yang irasional terhadap homoseksualitas yang pada orang lain, ketakutan terhadap perasaan menjadi homoseksual pada diri orang bersangkutan, atau benci terhadap diri sendiri karena homoseksualitas seseorang.

Banyak kita jumpai reaksi berlebih dari seseorang yang baru saja ngobrol dengan kaum homoseks, entah takut, ngeri, melecehkan, geli dan sebagainya. Atau sebaliknya, banyak kita jumpai bagaimana seseorang yang berprilaku homoseks berusaha menyangkal keras bahwa dirinya homoseks.

Seorang homoseks, menurut Martin & Lyon adalah orang yang pada dasarnya secara erotis, psikologis, emosional dan sosial tertarik dengan sesama jenis, meskipun rasa tertarik itu tidak terekspresikan secara nyata.

Jadi jumlah mereka sesungguhnya lebih banyak ketimbang yang pernah dihitung atau diduga, karena ada orang-orang yang tidak mengekspresikan kecenderungan homoseksualnya secara terbuka.

Di Amerika Serikat misalnya, dalam riset Kinsey, 13 persen wanita dilaporkan memiliki pengalaman sebagai lesbian pada suatu penggal hidupnya. Tapi hanya satu persen saja yang menjadi lesbian eksklusif.

Memang banyak gambaran kurang tepat tentang lesbian. Banyak diantara kita yang mengira bahwa seseorang menjadi lesbian karena dendam, tidak suka, takut ataupun tidak percaya terhadap laki-laki.

Bisa dimaklumi, karena secara sosial seksualitas wanita selalu dikaitkan dengan pria. Ini sama saja dengan anggapan mengapa wanita menjadi heteroseks (yang lebih tertarik dengan lawan jenis) karena ia takut dengan dan tidak suka dengan sesama jenis.

Padahal menurut riset, 70 persen lesbian pernah memiliki pengalaman seksual dengan pria dan kebanyakan antara mereka menyukai relasi dengan pria itu. Tapi mereka lebih memilih menjalin relasi dengan wanita.

Sebab itu, banyak ahli berpendapat, orientasi homoseksual pada wanita sesungguhnya bukan karena mereka tak punya kesempatan dan pengalaman menjadi heteroseksual atau karena punya sejarah tidak menyenangkan dalam pengalaman heteroseksualnya.

Sementara itu ada juga anggapan bahwa seseorang menjadi lesbian karena pernah "diperkosa" oleh lesbian yang berusia lebih dewasa. Karena merasakan kenikmatan ketika melakukan relasi tersebut akhirnya terjerumus menjadi lesbian.

Banyak kalangan awam juga percaya seorang anak menjadi lesbian karena punya guru lesbian. memang data memperlihatkan bahwa kaum homoseks (pria maupun wanita) memiliki pengalaman seksual pertama dengan yang seusia, biasanya teman. Tapi kecenderungan menjadi lesbian itu telah ada sejak sebelum usia sekolah.

Dalam literatur psikologi juga dijumpai teori-teori yang menyatakan penyebab seseorang menjadi lesbian (maupun gay) bersumber dari latar belakang keluarganya.

Dalam Psikoanalisa Freud misalnya, dikatakan pengalaman hubungan orang tua dan anak pada masa anak-anak sangat berpengaruh terhadap kecenderungan homoseksual.

Freud percaya, pria maupun wanita memiliki kecenderungan biseksual. Hanya dengan pengalaman perkembangan yang "normal" maka anak akan tumbuh sebagai heteroseksual.

Pendapat Freud di atas, ternyata didukung para ahli, pada intinya mengakui betapa besar pengaruh pengalaman masa kanak-kanak terhadap orientasi seksualnya.

Misalnya kurang kasih sayang Ibu akan menyebabkan seorang anak perempuan berusaha mendapatkannya dari wanita lain. Hubungan yang buruk dengan ayahnya akan menyebabkan anak mengalami trauma berhubungan dengan laki-laki sehingga anak perempuannya cenderung memilih berhubungan dengan wanita.

Tapi sebagian ahli menentang pendapat itu, mereka percaya seseorang menjadi lesbian bukan karena pengaruh lingkungan, tapi memang sudah demikian keinginannya.

Mereka kemudian membuktikan data yang menunjukan sebagian lesbian menjadi lesbian karena memang memiliki kesadaran memilih menjadi lesbian. Pilihan itu sebagai semacam alternatif lain dari pilihan menjadi heteroseksual.

Sementara itu ahli yang lain memperlihatkan faktor yang berbeda mengapa seseorang menjadi lesbian. Tak lain adalah faktor genetik yang dibawanya sejak lahir.

Tapi, konon anggapan ini sangat spekulatif dan riset yang dihasilkan untuk mendukung pendapat tersebut dinilai sangat lemah. Faktor biologis lain yang relatif lebih banyak diterima sebagai sumber lesbianisme adalah faktor hormonal.

Dan jika sampai riset tentang hal ini menunjukan bukti-bukti kuat, bisa jadi teori lain yang memandang bahwa seseorang menjadi homoseksual karena faktor "tidak alamiah" seperti faktor psikologis itu akan gugur.

Ada lagi ahli yang berpendapat lesbianisme terjadi berkaitan erat dengan tak adanya pembedaan jenis kelamin sebagai kanak-kanak (gender nonconformity).

Hasil riset menunjukan , 4/5 wanita lesbian dan 2/3 wanita heteroseks tidak terlalu feminim semenjak anak-anak. Hal itu terlihat dari ketidaksukaan terhadap boneka, sebagai mainan yang dianggap khas wanita. Pendeknya, mereka yang tergolong tidak feminim ini lebih menyukai permainan dan aktivitas anak laki-laki ketimbang perempuan.

Karena itu menurut para ahli, jika ada faktor biologis yang mempengaruhi seorang menjadi lesbian adalah karena tak adanya pembedaan jenis kelamin ini, sehingga mempengaruhi orientasi seksualnya.

Disinilah perlu adanya pendidikan seks usia dini, baik dari orang tua maupun guru-guru di TK dalam arti bukan mengajarkan bagaimana cara berhubungan seksual pada anak-anak tetapi bagaimana memberi bimbingan tentang peran jenis kelamin, antara anak laki-laki dan perempuan.

Idealnya pendapat yang lebih netral tentang sebab-sebab seseorang menjadi lesbian adalah membuka segala kemungkinan dan tidak terpaku pada satu sebab, sebab bukan mustahil seseorang menjadi lesbian karena faktor psikologis mapun biologis.

Kemudian yang sering menjadi tanda tanya menyangkut kaum lesbian (dan gay) adalah, apakah mereka dapat "disembukan" ?

Bagi mereka yang berpendapat lesbian bukan penyakit akan marah mendengar pernyataan ini, karena mereka beranggapan, lesbianisme adalah suatu alternatif lain dari orientasi psikologis, sosial maupun seksual.

Sehingga kalaupun perlu diterapi, maka terapi yang diberikan adalah berupa peneguhan untuk menjadi lesbian. Maksudnya jelas, supaya mereka tidak ragu-ragu dan tidak mengalami konflik batin lagi karena merasa dirinya "menyimpang" dari kebiasaan yang ada dalam masyarakat.

Namun pada mereka yang percaya bahwa lesbianisme adalah suatu penyimpangan, maka lesbianisme dapat disembuhkan.

Banyak klinik psikologi yang berusaha membantu memberikan terapi psikologis. Yang jelas akan lebih mudah menyembuhkan problem seksual seseorang ketimbang mengubah orientasi seksualnya.

Dan memang banyak ahli yang berusaha terus-menerus untuk menemukan bagaimana terapi yang tepat untuk para homoseksualitas ini. Membuat seimbang hormon adalah cara yang juga ditempuh, tapi sejauh ini kabarnya penambahan hormon ternyata baru bisa meningkatkan keinginan seksual tapi tidak mengubah orientasi seksualnya.

Hal ini berarti perlunya bimbingan melalui pendekatan psikologis, silahkan hubungi Biro Psikologi anda terdekat... Selamat mencoba terapy Psikologis dengan pendekatan spritual...

Minggu, 18 Januari 2009

STRES DAN KEKERASAN

Stres melanda kalangan atas dan bawah.
Banyak tindak kekerasan yang disebabkan oleh stres.
Pergaulan sosial bisa jadi resep?

Widodo sebetulnya tak pernah bermaksud menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri. Tapi itulah yang terjadi pada akhir bulan lalu.

Anaknya mati terpanggang ketika laki-laki 25 tahun itu membakar rumah mertuanya. Kehidupan yang keras sebagai supir mikrolet di Jakarta dan penolakan berkali-kali dari istrinya ketika diajak berhubungan intim, telah menjadi penyulut malapetaka itu.

Rasidi sebut saja begitu, seorang manager di sebuah perusahaan konglomerat membuat terkejut rekan-rekan sekantornya karena tiba-tiba saja ia berteriak-teriak, membanting kursi kerjanya ke arah pintu hingga mengenai seorang seketaris yang bernama Yeni yang baru akan masuk ruangan.

Rasidi juga mengobrak-abrik filing cabinet. Tapi setelah itu tubuhnya lunglai dan nafasnya terengah-engah. Pada kali lain ia hanya merunduk selama berjam-jam tanpa berbuat apa-apa.

Pasalnya Rasidi merasa tidak bisa naik karier lagi dengan dicomotnya manager cangkokan dari luar sebagai general manager. Padahal Rasidi sangat berambisi menduduki posisi GM itu dan ia pun bekerja keras untuk bisa mencapai ambisinya.

Tapi apa boleh buat, Direksi mengambil keputusan lain. Rasidi sangat kecewa, akhirnya Psikolog perusahaan menganjurkannya ambil cuti. Diduga Rasidi mengalami stres berat.

Kita hampir setiap hari mendengar istilah stres, apakah itu di kantor , di rumah maupun dalam pergaulan sosial lain. Iis yang periang mendadak menjadi uring-uringan di kantor hanya karena terjebak kemacetan Jakarta.

"Gue lagi stres ni.." kata Iis ketika diprotes teman-temannya.

Munawir yang istrinya akan ulang tahun pun mengalami stres, "saya belum ketemu kado yang cocok soalnya".

Halim yang pembawaannya tenang dan dewasa pun mengalami stres, karena ia harus menghadapi calon mertuanya besok malam.

Jadi apa sih sebenarnya stres itu.. ???

Dalam fisiologi (ilmu yang berhubungan dengan alat-alat tubuh), stres diartikan sebagai respon, reaksi, atau adaptasi terhadap alam, lingkungan maupun perubahan.

Tapi dalam bidang Psikologi, stres lebih diartikan sebagai stimulus ketimbang respon. Seperti pengertian dari Random House seperti rasa takut atau rasa sakit yang mengganggu atau mengacaukan kenormalan mekanisme alat-alat tubuh.

Louis B. Schlesinger dan Eugene Revitch lebih menartikan stres sebagai stimulus yang menciptakan gangguan terhadap kejiwaan. Stres bisa disebabkan oleh faktor eksternal (sosiologis dan situasional) maupun faktor internal (intrapsychic) yang berbahaya. Stres sering kali dirasakan sebagai penderitaan atau ketidaknyamanan.

Banyak peneliti maupun teoritis yang lebih tertarik melihat efek stres terhadap tubuh ketimbang efeknya terhadap prilaku atau reaksi psikologis seseorang atau suatu masyarakat.

Misalnya stres dapat menyebabkan kepala pusing, tekanan darah naik, asma, penyakit kulit dan gejala psikosomatis lain.

Karena itu masuk akal bila tindak kekerasan dan kriminalitas yang dilakukan individu atau masyarakat sebagai akibat dari stres, sangat jarang menjadi perhatian. Pelaku kekerasan dan kriminal lebih sering dicap sebagai berwatak jahat atau kriminal.

Bahkan sering perilaku semacam itu dikaitkan dengan faktor keturunan. Maka pendapat pakar Psikologi Halleck yang menyatakan bahwa kriminalitas merupakan suatu jenis adaptasi terhadap stres dalam kehidupan, memang menjadi tidak populer.

Sejumlah riset membuktikan bahwa stres seringkali mendorong seseorang melakukan tindak kekerasan dan perilaku kriminal.

Ini tidak saja terjadi di kalangan masyarakat bawah, tetapi juga di kalangan atas. Bedanya adalah penyebab stresnya (stresor). Di kalangan masyarakat bawah penyebab stres umumnya adalah akibat tekanan ekonomi dan status sosial yang rendah, rumah tinggal yang kumuh, lingkungan yang kelewat crowded, tidak adanya privacy, kurang hiburan, menjadi faktor penambah terjadinya stres.

Seringkali stres juga terjadi karena orang-orang bersangkutan tidak memiliki sumber daya dan ketrampilan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Dikalangan atas yang sering menjadi penyebab adalah perasaan jenuh atau bosan, keterasingan dari diri sendiri, maupun kehilangan makna hidup.

Ekspresi yang muncul dari stres itu biasanya adalah perubahan emosi, rasa marah, siap melawan apa saja dan siapa saja. Maka bisa dipahami kalau pelaku kriminalitas remaja menjadi fenomena di kalangan atas. Mereka adalah umumnya anak-anak orang kaya, terpelajar, yang kehilangan tujuan hidup, bingung dan stres karena mengalami konflik dalam prinsip-prinsip sosial.

Secara lebih rinci, Schlesinger dan Revitch menyebutkan sejumlah faktor eksternal penyebab stres. Antara lain lemahnya kontrol sosial dan rusaknya tata nilai, perubahan yang demikian cepat, efek dari teknologi komputer dan atom, tekanan ekonomi, dan sebagainya.

Dengan kata lain, stres dapat disebabkan oleh faktor lingkungan tersebut yang akhirnya berbuntut pada tindak kekerasan dan kriminalitas.

Stres karena faktor internal ini ada kalanya juga bersifat sangat mendadak munculnya, tidak langsung dan psikogenik. Harga diri yang tersinggung secara tiba-tiba misalnya dapat mendorong seseorang tega membunuh orang lain.

Stres seringkali juga terjadi karena kurangnya atau rendahnya harga diri (self esteem) seseorang. Penyebabnya biasanya adalah pernah mengalami bahkan mungkin selalu mengalami tidak dihargai dan ditolak oleh lingkungannya.

Sedangkan perasaan bahagia, adanya harga diri, sedikit banyak juga karena hubungan interpersonal yang dimiliki dapat menghindakan diri dari stres.

Sebab itu melibatkan diri dalam pergaulan dengan orang lain, melibatkan diri dalam aktivitas sosial yang formal, hubungan yang dekat dengan pasangan hidup, keluarga dan teman-teman, serta diperolehnya dukungan sosial emosional dari lingkungan, menjadi sangat penting agar seseorang terhindar dari stres.

Yang paling utama adalah melalui pendekatan spritual, dengan memasrahkan kehidupan ini pada sang pencipta, selalu iklas menerima cobaan dan kebahagiaan adalah solusi yang paling ampuh untuk mengendalikan emosional yang sekaligus akan menghindarkan kita dari stres.


Kamis, 01 Januari 2009

DIMENSI KESEHATAN JIWA DALAM KETAUHIDAN

Pentingnya peranan agama dalam kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa telah diakui oleh para pakar kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa di seluruh dunia.

Hal ini terbukti dari topik bahasan berjudul "Psychiatry and Religion" dan "Mental Health and Religion" dalam berbagai kongres internasional.

Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar dapat disimpulkan bahwa :
  1. Komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penyakit dan mempercepat penyembuhan (dengan catatan terapi medis diberikan sebagaimana mestinya)
  2. Agama lebih bersifat protektif dan pencegahan
  3. Komitmen agama mempunyai hubungan yang signifikan dan positif dengan keuntungan klinis.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam memandu kehidupan dan kesehatan manusia yang serba komplek ini dengan segala keterkaitannya, maka komitmen agama adalah merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan.

Firman Allah dalam surat Al Fajr ayat 27-30 :
Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah. Irji'ii ilaa robbiki roodhiyatam mardhiyyah. Fad khulii fii ' ibaadii. Wad khulii jannatii.

Artinya : "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoiNya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hambaKu (yang shalih) dan masuklah ke dalam surga-Ku (Q.S. 89:27-30)

Dalam agama Islam rukun Iman ada 6, yaitu :
  1. Iman kepada Allah SWT
  2. Iman kepada Malaikat
  3. Iman kepada para Nabi
  4. Iman pada Kitab-kitab
  5. Iman kepada hari Kiamat
  6. Iman kepada Takdir
Setiap orang Islam wajib mengimani keenam Rukun Iman tersebut di atas. Adakah dimensi kesehatan jiwa dalam Rukun Iman ?

Firman Allah dalam surat Ar Ra'd ayat 28 :
Alladziina aamanuu wa tathmainnu quluubuhum bidzikril laahialaa bidzikril laahi tatmainnul quluub.
Artinya : "Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram" (Q.S. 13:28).

Salah satu kebutuhan utama manusia adalah kebutuhan akan rasa aman dan terlindung (security feeling). Rasa aman dan terlindung ini tumbuh dan dirasakan sebagai suatu kekuatan spiritual dengan doa atau sholat yang dilakukan 5 kali sehari semalam, belum lagi sholat sunnah lainnya.

Dengan beriman kepada Allah SWT, berarti kita akan menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan apa yang diperintahkan, agar diperoleh keselamatan/kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Orang yang beriman adalah orang yang selalu ingat kepada Allah SWT (dzikrullah/zikir), perasaan tenang, aman dan terlindung selalu menyertainya.